Sumbangsih Peradaban Islam bagi Sains

Abstrak – George Sarton dalam bukunya ‘Introduction to the History of Science’ menulis, “It will suffice here to evoke a few glorious names without contemporary equivalents in the West: Jabir ibn Haiyan, al-Kindi, al-Khwarizmi, al-Fargani, al-Razi, Thabit ibn Qurra, al-Battani, Hunain ibn Ishaq, al-Farabi, Ibrahim ibn Sinan, al-Masudi, al-Tabari, Abul Wafa, ‘Ali ibn Abbas, Abul Qasim, Ibn al-Jazzar, al-Biruni, Ibn Sina, Ibn Yunus, al-Kashi, Ibn al-Haitham, ‘Ali Ibn ‘Isa al-Ghazali, al-zarqab, Omar Khayyam. A magnificent array of names which it would not be difficult to extend. If anyone tells you that the Middle Ages were scientifically sterile, just quote these men to him, all of whom flourished within a short period, 750 to 1100 A.D.”


PENDAHULUAN

Peradaban Yunani merupakan sebuah peradaban yang brilian. Dari sana terbukti (melalui peninggalan artefak) dihasilkan berbagai cikal ilmu dari mulai bidang matematika, geografi, astronomi sampai bidang kedokteran. Tokoh-tokoh yang memeloporinya antara lain Aristotle, Socrates, Archimedes, Euclid, Galen, dan Ptolemy. Kejayaan ini kemudian diwarisi oleh imperium Romawi yang cakupannya meliputi seluruh Eropa ditambah sebagian Timur Tengah dan Afrika Utara. Pada abad ke-5 Masehi, akhirnya Romawi runtuh oleh invasi para barbarian.

Kejatuhan Romawi mengakibatkan timbulnya apa yang disebut masa The Dark Age. Selama sepuluh abad, Eropa mengalami kemunduran peradaban. Tentu saja dekadensi ini juga termasuk dekadensi di bidang ilmu pengetahuan. Hal ini dapat teramati dari kajian sejarah untuk masa The Dark Age (5 – 15 M) yang sama sekali kosong dari kajian perkembangan ilmu serta hanya menyisakan kajian tentang feodalisme, agama, dan peperangan.

Sekitar akhir abad ke-15 hingga abad ke-17 terjadilah ‘kebangkitan’ Eropa yang dikenal dengan Renaissance. Tiba-tiba saja kecemerlangan peradaban Yunani-Romawi pulih dengan sains, teknologi, dan seni sebagai indikatornya. Muncul pertanyaan, dimanakah beredarnya ilmu pengetahuan dalam rentang sepuluh abad kegelapan Barat? Jawabannya adalah peradaban Islam. Zaman keemasan Islam diwarnai dengan pewarisan pusaka sains Yunani dan pengembangan serta penerapannya yang kemudian diadopsi Barat untuk meraih kebangkitan kembali. Sebuah sumbangsih filsafat Islam bagi kemajuan sains Barat.

ILMU MENURUT ISLAM

Di satu sisi, dorongan untuk menuntut ilmu digambarkan Al-Qur’an pada wahyu paling pertama yang diturunkan. “Iqro’”, begitulah redaksi perintah tersebut. Kata “iqro’” tidak semata diartikan sebagai “bacalah”, tapi juga bisa diartikan sebagai “telitilah”, “dalamilah”, serta “ketahuilah”. Pada ayat tersebut, tidak disebutkan tentang apa yang harus “dibaca” tetapi memberikan koridor “dengan nama Rabb” yang menunjukkan bahwa aktivitas itu harus bernilai ibadah dan secara umum juga bernilai bagi kehidupan. Untuk itu, maka tinjaulah alam, tinjaulah sejarah, sampai tinjaulah diri sendiri. Alat peninjau itupun sudah dipaparkan secara eksplisit oleh Al-Qur’an. Potensi yang dimiliki manusia untuk memahami pengetahuan adalah pendengaran, penglihatan, akal, dan hati. Dorongan untuk menguasai teknologi menjadi semakin kuat dengan pernyataan dalam Al-Qur’an bahwa alam ditundukkan untuk dikuasai manusia.

Adapula sebuah motif tidak langsung yang ditimbulkan oleh Al-Qur’an terhadap penyelidikan ilmiah. Hasrat utama umat Muslim adalah memahami kandungan dari pedoman hidup mereka, yaitu Al-Qur’an. Sebagian ada yang ‘mudah’ dipahami namun ada juga sebagian yang ‘tidak dapat’ dipahami kecuali dengan pengetahuan ilmiah. Dengan bermacam ayat-ayat tentang fenomena alam maka para penafsir akan merasa perlu untuk memiliki macam-macam pengetahuan ilmiah sehingga akhirnya dapat menguak makna yang dimaksud oleh Al-Qur’an.

Di sisi lain, Al-Qur’an juga memberikan gambaran-gambaran umum tentang objek sains yang dapat dipelajari. Objek ini diistilahkan dengan “ayat” yang ada pada alam maupun pada diri manusia itu sendiri (bahasa dan logika). Dikatakan bahwa ada sekitar 700 ayat yang membicarakan fenomena alam. Penjelasannya kadang umum dan kadang rinci dan semuanya bernilai kebenaran (Al-Qur’an adalah kebenaran mutlak). Banyak pembicaraan tentang penciptaan alam, astronomi, bumi, hewan, tumbuhan, sampai tentang kelahiran manusia. Hal-hal tersebut malah dewasa ini dapat dibuktikan oleh sains modern.

Berbeda dengan sekularisme Barat, Islam mengembangkan ilmu pengetahuan dalam kerangka religi. Islam menjadi alat utama dalam usaha ilmiah para penganutnya. Sebagai bukti, banyak ayat Al-Qur’an dan perkataan Rasul (Hadits) yang menjadi bahan bakar yang luar biasa bagi umat Muslim untuk mempelajari ilmu. Anjuran menuntut ilmu, teguran untuk memikirkan, penghargaan bagi siapa yang mengetahui, dan sebagainya bertebaran dalam kitab suci kaum Muslim. Hal ini diperkuat dengan pemaparan Al-Qur’an tentang fenomena-fenomena alam beserta kompleksitasnya, keserasiannya, dan kesempurnaannya yang semakin merangsang untuk diselidiki. Belum lagi dari sisi syari`at, dimana pemeluk seakan dipaksa menguasai ilmu pengetahuan guna menunjang pelaksanaan ibadah. Sebagai contoh, ibadah shalat yang harus dilaksanakan pada waktunya serta ibadah puasa yang wajib dilakukan pada bulan tertentu sehingga mutlak dibutuhkan penguasaan terhadap siklus waktu kosmik. Pun dengan hukum waris yang menuntut keahlian hitung (matematika) Akhirnya kesemuanya itu terbingkai dalam tujuan tertinggi untuk mengenal, mengabdi, dan mendekatkan diri kepada Allah.

FILSAFAT ISLAM

Filsafat Islam muncul dengan cakupan kedua belahan dunia (timur-barat). Meskipun pada awalnya muncul di timur, namun perkembangannya sampai ke barat sesuai dengan daerah kekuasaan Islam pada masa jayanya. Selama tujuh abad (abad 7-13 Masehi), paham ketuhanan milik Islam menghiasi perkembangan ilmu pengetahuan. Mulai dari Al-Kindi (801-873), Al-Farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), Al-Ghazali (1056-1111), sampai Ibnu Rusyd (1126-1198) menjadi para pelopor filsafat islam.

Perodisasi filsafat Islam dapat dibagi menjadi lima tahap. Tahap pertama yaitu pada rentang abad ke-1 Hijriyah (abad ke-7 Masehi) hingga jatuhnya imperium Baghdad. Tahap kedua dikenal dengan ‘keguncangan’ setengah abad. Tahap ketiga berlangsung pada awal abad ke-4 Hijriyah (abad ke-14 Masehi) sampai dengan abad ke-12 Hijriyah (abad ke-18 Masehi). Kemudian berlanjut pada tahapan keempat dimana terjadi kondisi kemunduran yang menyedihkan selama satu abad setelahnya. Akhirnya pada tahap kelima disebut-sebut sebagai masa renaissans modern yaitu pada abad ke-13 Hijriyah (abad ke-19 Masehi).

Meskipun pada intinya satu tubuh ajaran Islam, namun agar mudah dalam pengkajiannya filsafat Islam dapat dikategorikan menjadi filsafat teologi, filsafat alam, dan filsafat sosial. Segmen filsafat alam inilah yang kemudian melahirkan perkembangan sains. Hal ini terjadi terutama pada periode tahap pertama hingga awal tahap ketiga (abad ke-7 hingga abad ke-14 Masehi).

KARYA EMAS ISLAM

Perkembangan sains Islam dapat dibagi ke dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pewarisan dan penerjemahan. Pada masa ini dilakukan pengumpulan berkas-berkas penulisan Yunani untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Institusi terkenal yang mengoleksi dan menerjemahkan tersebut salah satunya adalah Baitul Hikmah yang dibangun pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Tahap kedua adalah pengklasifikasian cabang-cabang ilmu kemudian merumuskan metoda ilmiah dalam mempelajari dan membuktikannya. Tahap ketiga adalah pengembangan dan penemuan ilmu-ilmu pengetahuan baru.

Berikut penjelasan singkat mengenai beberapa cabang sains yang berkembang beserta tokoh-tokoh yang memeloporinya:

A. Kosmologi

Kosmologi adalah ilmu tentang sejarah, struktur, dan cara kerja alam semesta secara keseluruhan. Ilmu ini telah berkembang selama ribuan tahun dalam beberapa bentuk: mitologi dan religius, mistis dan filosofis, dan astronomis.

Ibn al-Shatir adalah seorang astronom muslim ternama yang bersama timnya menerjemahkan model kosmik Ptolemeus (pada naskah Almagest atau Al-Majisti) ke dalam konsep yang dapat diterapkan supaya lebih cocok dengan apa yang terlihat di langit.

B. Matematika

Sejak awal peradaban manusia, matematika sudah menjadi elemen penting dalam menunjang kehidupan. Penggunaan matematika sebagai alat terbukti eksis pada masa Mesir, Mesopotamia, India, dan Cina kuno. Ahli matematika Islam mengubah sifat bilangan (konsep angka desimal dan simbol bilangan nol, penambahan angka irasional serta natural dan pecahan), mengefisienkan beberapa bidang matematika, dan mengembangkan cabang-cabang baru matematika.

Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Banu Musa bersaudara yang meneliti angka-angka geometri berhubungan. Ibn al-Haytham mempelajari isometrik. Tsabit ibn Qurra, Nasiruddin al-Tusi, dan Umar Khayyam mengkaji postulat Euclid (yang buku aslinya berjudul Elements). Tidak lupa juga Al-Khawarizmi yang mengenalkan konsep aljabar dan algoritma. Trigonometri (terutama kajian segitiga) pun pada dasarnya adalah ciptaan matematikawan Islam. Belum lagi Abu Rayhan al-Biruni yang menerjemahkan karya Euclid ke dalam bahasa Sansekerta dan menghitung keliling serta jari-jari bumi secara presisi.

C. Astronomi

Pada masa itu, astronomi biasanya dikaitkan dengan matematika. Upaya yang dilakukan terdiri dari penelitian gerakan benda-benda langit dan mencatat apa yang ditemukan secara matematis. Pengetahuan ini diturunkan dari masa Yunani, Mesir, Babilonia, dan India kuno.

Putra Hunain ibn Ishaq –penerjemah kenamaan abad ke-9– membuat terjemahan Almagest (berisi tentang kinematika langit) karya Ptolemeus. Konsep Aristoteles tentang sfera padat yang diperkenalkan pada peradaban Islam melalui karya-karya Ibnu al-Haytham tetap menjadi model fundamental selama berabad-abad. Tsabit ibn Qurra dan Ibn Yunus, dikenal sebagai pengelola observatorium (lengkap dengan instrumen-instrumen astronomi hasil ciptaan yang luar biasa semisal astrolabes, bola langit, kuadran, dan jam matahari) yang didirikan di berbagai tempat. Al-Biruni (ditambah peran Al-Khawarizmi) menghasilkan data pengamatan yang membentuk dasar-dasar buku pegangan untuk jadwal astronomi penting yang dikenal sebagai zij. Al-Tusi dengan konsepnya yang terkenal, Tusi Couple, mengajukan model hipotesis tentang gerakan episiklus. Model tersebut kemudian diterapkan oleh Ibn al-Shatir dengan konsep gerakan planeter yang belakangan ternyata menunjukkan persamaan dengan skema Copernicus. Abdurrahman Al-Sufi dalam bukunya Kitab Suwar al-Kawakib al-Thabita (Risalah tentang Konstelasi Bintang-bintang Tetap) menguraikan tentang 48 konstelasi Ptolemeus.

D. Geografi

Meluasnya dunia Islam membutuhkan panduan di bidang geografi. Menghadapi kebutuhan yang berkembang pada perjalanan dan pedagangan serta urusan pemerintahan, ahli geografi bekerja keras untuk memperbaiki, mengembangkan, dan mengisi peta dunia yang diperoleh dari sumber-sumber Babilonia, Persia, dan Yunani serta dari naskah Yahudi, Kristen dan Cina. Pandangan kartografi Islam terhadap daerahnya menyerupai pandangan kartografi modern.

Abu Ishaq al-Istakhri (dengan karyanya: Al-Masalik wa Al-Mamalik –Jalur Perjalanan Kerajaan–) dan Ibn Hawqal membagi daerah Islam menjadi 12 wilayah dan memisahkan daerah non-Islam dalam kategori yang berbeda serta menulis atlas. Al-Mas’udi, dalam karyanya Muruj al-Dhahab (Padang Rumput Emas dan Tambang Permata), menguraikan tempat-tempat yang ia kunjungi dan berisi potret Eropa. Ibn Batuta, penjelajah abad ke-14 asal Maroko, menghabiskan hidupnya dengan berkelana dari Afrika Utara ke Cina dan Asia Tenggara lengkap dengan laporannya. Ibnu Khaldun memberikan penjelasan tentang daerah dan orang-orang di dalam batas wilayah Islam. Al-Idrisi membuat peta dunia berbentuk relief dari perak kemudian membuat detailnya pada 71 peta terpisah dan menyertainya dengan buku Kitab al-Rujari. Piri Re’is, seorang kapten laut masa Turki Utsmani, menghasilkan atlas mediterania serta bahkan peta Afrika Barat dan Amerika.

E. Kedokteran

Pada bidang kesehatan, Islam mewarisi dan mempelajari keberhasilan Yunani, Romawi klasik, Syria, Persia, dan India. Karya utama yang diterjemahkan dan menjadi basis adalah De Materia Medica yang disusun Dioscorides. Perpustakaan, pusat-pusat penerjemahan, dan rumah sakit sebagai sebuah institusi telah dikembangkan dengan cara revolusioner yang dapat membentuk jalan bagi sains kesehatan.

Al-Ruhawi memberikan karya berjudul Adab al-Tabib (Kode Etik Dokter) yang merupakan salah satu naskah berbahasa Arab pertama yang membicarakan masalah etika medis. Al-Razi (dikenal di Barat dengan sebutan Rhazes) dengan karyanya Tentang Cacar dan Campak yang diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat hingga cetakan ke-40. Ia juga menulis 23 jilid Al-Hawi (Kitab yang Lengkap) yang merupakan salah satu naskah pengobatan paling lengkap sebelum abad ke-19. Ibn Sina (dikenal di Barat dengan sebutan Avicenna) dengan karyanya yang fenomenal Al-Qanun berupa ensiklopedi topik-topik medis serta senyawa, obat, dan alat pengukuran. Karya Al-Razi dan Ibn Sina tersebut digunakan sebagai rujukan dasar di sekolah-sekolah medis Eropa hingga menjelang awal masa modern. Ibn al-Khatib melakukan penelitian tentang penularan dalam epidemi. Ibn al-Nafis memberikan teori baru tentang sirkulasi darah sekunder antara jantung dan paru-paru. Risalah Hunain ibn Ishaq tentang mata beserta diagram-diagram anatomi yang akurat merupakan yang pertama dalam bidang ini. Mansur ibn Muhammad ibn al-Faqih Ilyas dengan naskahnya Tashrih al-Badan (Anatomi Tubuh) memberikan diagram komprehensif mengenai struktur, sistem sirkulasi, dan sistem syaraf tubuh. Abu al-Qasim al-Zahrawi (dikenal di Barat dengan sebutan Abulcasis) menelurkan karya berjudul Kitab al-Tasrif (Buku tentang Konsesi) yang berisi tiga risalah utama mengenai pembedahan yang digunakan sekolah-sekolah medis Eropa selama beberapa abad. Ibn Zuhr (Avenzoar), Ibn Rusyd, dan Maimonides adalah ahli-ahli kedokteran lainnya. Tidak ketinggalan pula Ibn al-Baytar dengan karyanya Al-Jami’ fi al-Tibb (Kumpulan Makanan dan Obat-obat yang Sederhana) yang merupakan teks Arab terbaik berkaitan dengan botani pengobatan (farmakologi) dan tetap digunakan sampai masa Renaissans.

F. Zoologi, Botani, Geologi

Para naturalis Islam memiliki minat terhadap sumber daya alam seperti batuan, tanah, flora, dan fauna. Hasilnya adalah inventaris yang melimpah tentang kuda, unta, hewan liar, anggur, pohon palem, sampai manusia.

Al-Biruni dan al-Khazini bahu membahu mengukur dan mengelompokkan batu-batu mulia dan semimulia. Ibn Sina juga meneliti geologi dan pengaruhi gempa bumi serta cuaca. Karya Zakaria ibn Muhammad ibn Mahmud Abu Yahya al-Qazwini pada abad ke-13 berjudul Aja’ib al-Makhluqat (Keajaiban Ciptaan), mengungkapkan botani dan zoologi. Ibn Akhi Hizam dan Abu Bakr al-Baytar meneliti tentang kuda. Analisa tentang hewan juga terdapat pada naskah Manafi’ al-Hayawan (Tentang Identifikasi dan Ciri-ciri Organ Hewan) oleh Abu Sa’id Ubaydallah ibn Bakutishu’.

G. Kimia

Alkimia menggabungkan spiritual, kerajinan, dan disiplin-disiplin ilmiah yang dapat ditelusuri kembali pada masa yang sangat lampau dan pada proses yang secara tradisional terdapat dalam penyiapan pengolahan logam dan obat. Ketika peradaban Islam sudah mapan, mereka menyerap aturan-aturan dasar alkimia yang dibuat oleh bangsa Alexandria dan terus membentuknya dalam konensi-konvensi intelektual mereka sendiri.

Jabir ibn Hayyan (dikenal di Barat dengan sebutan Geber) adalah legenda di bidang ini. Ia memfokuskan pada prinsip keseimangan dan hubungan numerik benda-benda. Ia tidak hanya mahaguru laboratorium tapi juga analis yang teliti. Ia mengetahui cara-cara menghasilkan besi, mewarnai kulit, kain tenun, dan baju anti air. Al-Razi juga memberikan sumbangan di bidang ini berupa proses kimia dasar seperti distilasi, kalsinasi, kristalisasi, penguapan, dan penyaringan. Perkakas lab yang ia gunakan diperbaiki dan dikembangkan sampai kotak, gelas kimia, labu kaca, corong, dan tungku pembakaran yang standar menyerupai yang terdapat pada masa modern. Ia juga membuat klasifikasi sistematis terhadap zat-zat mineral hasil alami maupun yang dibuat di lab.

H. Optik

Beberapa filosof, matematikawan, dan ahli kesehatan Islam berupaya keras mempelajari sifat fundamental serta cara bekerja pandangan dan cahaya. Mereka memiliki akses pada warisan pengetahuan Yunani yang berkaitan dengan cahaya dan penglihatan. Sumber-sumber itu antara lain karya Euclid dan karya astronom Mesir, Ptolemeus.

Al-Kindi, dengan kajiannya pada karya Euclid yang berjudul Optics, menghasilkan pemahaman baru tentang refleksi cahaya serta prinsip-prinsip persepsi visual yang menjadi cikal bakal hukum-hukum perspektif pada Renaissans. Riset paling spektakuler mengenai penglihatan dan cahaya dilakukan oleh Ibn al-Haytham (dikenal di Barat dengan sebutan Alhazen). Ia meneliti hampir seluruh aspek cahaya dan penglihatan manusia dalam karya komprehensifnya yang berjudul Kitab al-Manazir (Buku Tentang Optik). Karya tersebut kemudian mempengaruhi karya da Vinci, Kepler, Roger Bacon, dan ilmuwan-ilmuwan Eropa lain. Kamal al-Din al-Farisi mengomentari karya Ibn al-Haytham pada segmen efek kamera obscura. Ia (al-Farisi) juga untuk pertamakalinya memberikan penjelasan yang memuaskan tentang pelangi. Selain itu, al-Razi dan Ibn Sina juga mencantumkan tulisan-tulisan tentang optik.

Demikianlah karya emas Islam di bidang sains. Jika diperhatikan, ada tokoh-tokoh yang menjadi ahli di berbagai bidang. Itulah potret manusia Islam seutuhnya. Seorang yang telah mencapai derajat ulama berarti selain menguasai agama juga memiliki keahlian di bidang ilmu dunia (sains dan teknologi). Perlu dicatat bahwa nama tokoh-tokoh di atas tidak semuanya Muslim. Ada sebagian kecil diantaranya menganut agama Yahudi, Kristen, ataupun Sabean. Tapi semuanya hidup di bawah peradaban Islam dimana Khalifah (pemerintahan) sangat toleransi terhadap kemajemukan serta giat memajukan ilmu pengetahuan dengan bahasa Arab sebagai bahasa internasional dan bahasa ilmu. Sebuah sistem hidup yang tiada taranya.

KESIMPULAN

Dalam kajian sejarah, dapat diketahui bahwa Arab sebelum Islam dikenal sebagai zaman jahiliyah dimana ilmu pengetahuan tidak mendapat porsi padanya. Kemudian perkembangan sains itu berjalan cepat setelah adanya risalah Islam. Inilah bukti bahwa Islam melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan.

Kebudayaan yang timbul adalah Islam sebagai center of excellence di semua bidang termasuk sains dalam sepuluh abad. Lambang kejayaan itu tercermin dari kedua pusatnya yaitu Baghdad di timur dan Cordoba di barat. Di Qurtubah (Cordoba) terdapat perpustakaan yang menyimpan sekitar 400.000-600.000 buku. Manuskrip-manuskrip tersebar di negeri-negeri yang pernah dikuasai oleh kebudayaan Islam. Dunia Islam tidak menghalangi seseorang untuk menjadi orang yang beriman dan sekaligus pandai. Seolah sains dan agama adalah saudara kembar yang saling berdampingan.

Barat banyak berhutang kepada pengetahuan Arab (Islam). Antara lain di bidang kosmologi, matematika, astronomi, geografi, kedokteran, kimia, optik, zoologi, botani, geologi, dan lain-lain.

PUSTAKA

[1] Zaimeche, Salah. 2002. An Introduction to Muslim Science. Published by Foundation for Science Technology and Civilisation, United Kingdom.

[2] Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Jakarta: Mizan.

[3] http://misykatulanwar.wordpress.com/2008/04/10/urgensi-filsafat-ilmu-bag-ii/

[4] Bucaille, Maurice, dr. 1995. The Bible, The Qur’an and Science. Dubai: El-Falah Foundation.

[5] Zaimeche, Salah. 2002. Islam and Science. Published by Foundation for Science Technology and Civilisation, United Kingdom.

[6] Emerick, Yahiya. 2002. The Complete Idiot’s Guide to Understanding Islam. Indianapolis: Alpha Books, Pearson Education Inc.

[7] Turner, Howard R. 2004. Sains Islam yang Mengagumkan: Sebuah Catatan terhadap Abad Pertengahan. Bandung: Nuansa.

[8] Sarton, George. 1948. Introduction to the History of Science. Malbourne: Krieger Publishing Co.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *