Epilog Sabar Dan Syukur

Imam Al-Ghazali merumuskan bahwa dua kualitas esensial dari seorang muslim adalah sabar dan syukur. Sabar bisa diparadigmakan sebagai kesyukuran dalam keadaan susah: mampu menyadari apa yang masih dimiliki dan mengakui dengan kata alhamdulillah. Begitu juga syukur dapat dipandang sebagai kesabaran dalam keadaan senang: mampu menahan diri dari hal-hal yang tidak tercapai oleh keberhasilan dan bersikap qana’ah. Seorang muslim konsisten dalam keduanya, apapun yang terjadi pada hidupnya.

Al-Quran Surat Yusuf merupakan satu surat unik dimana di dalamnya fokus mengisahkan tentang perjalanan hidup Nabi Yusuf ‘alayhissalam yang tidak ditemui pada surat-surat lain. Surat tersebut lengkap menceritakan bagaimana ia menempuh titik terendah dalam hidup hingga titik tertingginya.

Pada ekstrim bawah, Nabi Yusuf mengalami kondisi dikhianati (oleh orang dekatnya), diabaikan (terlantar dalam sumur), terasing, hidup sebagai budak (di keluarga pejabat), dicemari nama baiknya (dituduh berbuat serong), bahkan sampai dipenjara. Pada ekstrim atas, beliau berhasil memperoleh jabatan, berkumpul kembali dengan keluarga yang lama terpisah, pun tidak berlebihan jika dikatakan ia mencapai semua standar kesuksesan duniawi (kaya harta, bertahta, rupawan, serta cerdas). Segala perubahan drastis tersebut ternyata tidak mengubah konsistensi karakternya: ia tetap dikenal sebagai orang baik. Testimoni itu diberikan oleh teman sependeritaan di bui, ketika keadaannya terhina, “إِنّا نَراكَ مِنَ المُحسِنينَ” “sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang baik” (QS Yusuf 36). Pengakuan yang serupa diberikan oleh saudaranya (tanpa mengenalinya), saat posisinya berkuasa, “إِنّا نَراكَ مِنَ المُحسِنينَ” “sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang baik” (QS Yusuf 78).

Epilog dari kisah itu disimpulkan dalam do’a: “Wahai Rabb-ku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian dari kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta’bir mimpi. Pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih” (QS Yusuf 101). Kalimat itu berisi pengakuan akan anugerah Rabb, bahwa kekuasaan dan ilmu itu hanya bagian dari absolut Rabb-nya. Apapun takdir yang dialami merupakan rencana baik dari Allah. Sepanjang perjalanan hidup, hal-hal telah terjadi, ada yang terambil, direnggut atau hilang, tatkala makhluk menjauh dan meninggalkan, namun Sang Khaliq selalu bersama hamba-Nya menjadi tempat bergantung. Tidak ada lagi yang harus diminta selain bertahan sebagai muslim hingga akhir hayat dengan mengikuti jalan kebajikan. Kebajikan di dunia tiada lain adalah ilmu yang bermanfaat, rizqi yang baik, dan amal yang diterima. Kesemuanya itu merupakan jalan bagi kebahagiaan di akhirat.

Ketika merasa situasi hidup menyempit; tengoklah kesulitan yang menimpa Nabi Yusuf. Apakah itu menjadi alasan untuk berhenti menjadi orang baik?! Saat episode hidup cemerlang; tiliklah kesuksesan yang diperoleh Nabi Yusuf. Apakah itu menjadi alasan untuk berhenti berbuat baik?!

Helmholtz-Zentrum Dresden-Rossendorf, 29 Ramadhan 1439H.

Grateful What You Wish For

Jika kita menggali pilar-pilar dalam agama Islam, maka akan ditemukan bahwa salah satu esensinya adalah do’a. Bentuk permohonan tersebut merepresentasikan kepercayaan akan eksistensi Sang Pengabul Permohonan, yaitu Allah. Seorang pen-do’a melandasi harapannya dengan asumsi bahwa Allah memiliki hubungan erat dengan hamba yang meminta-Nya sehingga mengabulkannya. Si pemohon pun yakin bahwa Yang dimohon Mahakuasa atas segala perkara. Latar belakang itulah yang menjadikan do’a sebagai inti penting dari kehidupan seorang hamba.

Dalam Al-Qur’an, dapat ditemukan beberapa peran do’a bagi takdir seseorang. Nabi Ibrahim ketika didakwa hukuman bakar, beliau menyeru “hasbuna Allah wa ni’ma al-wakil”; do’a itu mencegah musibah yang seharusnya secara natural menimpanya “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim” (Al-Anbiya 69). Nabi Ayyub saat sakitnya, beliau bercurah hati “sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang” (Al-Anbiya 83); do’a itu mengangkat cobaan yang dideritanya. Nabi Yunus kala celakanya, beliau berucap “tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim” (Al-Anbiya 87); do’a itu melapangkan kesempitan yang dialaminya. Nabi Zakariya ditengah kesepiannya, beliau mengadu “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik” (Al-Anbiya 89); do’a itu mewujudkan anugrah baginya. Begitulah teladan dari kisah para nabi yang termaktub dalam kitab, untuk menjadi pelajaran dan bimbingan bagi kita.

Pada akhir rangkaian ayat, terdapat isyarat akan kunci pokok bagi pen-do’a: “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami” (Al-Anbiya 90).

Maka bersyukurlah atas do’a yang pernah, sedang, dan akan terpanjat; karena dengan syarat dan kondisinya, pasti terjawab. Terkadang kitalah -dengan segala kejahilan dan kealpaan manusiawi- yang kurang menyadari bentuk peran keterlibatannya dalam takdir kehidupan.

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” (Ibrahim 34).

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An-Nahl 18).

Referensi:
quran.ksu.edu.sa

*inspirasi dari khuthbah Jum’at di Bath Mosque Al-Muzaffar

Yaa Bunayya

[وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَابَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ [البقرة: 132

132. Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”.

Faktor yang menjadikan beliau mendapat kedudukan tinggi di sisi Allah itu, serta ajaran yang dianutnya beliau teruskan kepada generasi sesudah beliau.
Wasiat adalah pesan yang disampaikan kepada pihak lain secara tulus, menyangkut suatu kebaikan.
Nabi Ibrahim as berkata: “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu.” Maksudnya, agama ini adalah tuntutan Allah, bukan ciptaanku. Memang banyak agama yang dikenal oleh manusia, tetapi yang ini, yakni yang intinya adalah penyerahan diri secara mutlak kepada-Nya, itulah yang direstui dan dipilih oleh-Nya. Karena itu, “maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”
Pesan ini berarti jangan kamu meninggalkan agama itu walau sesaat pun. Sehingga dengan demikian, kapanpun saatnya kematian datang kepada kamu, kamu semua tetap menganutnya. Kematian tidak dapat diduga datangnya. Jika kamu melepaskan ajaran ini dalam salah satu detik hidupmu, maka jangan sampai pada detik itu kematian datang merenggut nyawamu, sehingga kamu mati tidak dalam keadaan berserah diri. Karena itu, jangan sampai ada saat dalam hidup kamu, yang tidak disertai oleh ajaran ini.
(Tafsir Al-Mishbah)

[وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَابُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ [هود: 42

42. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya (2) sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.”

Ini adalah gambaran tentang bahtera itu. Mengarungi air dengan kondisi gelombang yang besar laksana gunung. Sebelumnya Nuh Alaihissalam memanggil anaknya yaitu Kan’an, saat itu ia berada jauh dari bahtera karena menolak untuk naik ke atasnya disebabkan kedurhakaan dan kekufurannya (dikatakan juga jauh dari agama bapaknya).
Pelajaran yang dapat diambil dari ayat: durhaka kepada kedua orang tua menyebabkan kehancuran di dunia, sedang di akhirat mendapat azab. Sebuah fenomena kasih sayang orang tua terhadap anaknya.
(Tafsir Al-Aisar)

[قَالَ يَابُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ [يوسف: 5

5. Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”

yaitu mereka terbawa oleh sifat hasad untuk berbuat makar agar dapat mencelakakanmu, karena mereka menaati setan, yang telah mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga dengan cara menggoda mereka agar memakan buah, padahal Allah Ta’ala melarang untuk memakannya.
Pelajaran yang dapat diambil dari ayat: disyariatkan untuk berhati-hati dan waspada dalam urusan-urusan penting
(Tafsir Al-Aisar)

[وَقَالَ يَابَنِيَّ لَا تَدْخُلُوا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُوا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَمَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ [يوسف: 67

67. Dan Ya’qub berkata: “Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun daripada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri”.

janganlah kalian yang berjumlah sebelas orang masuk dari satu pintu gerbang yang akan menimbulkan kecurigaan mata (‘ain) tapi masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan, agar jangan terlihat sekelompok orang yang memiliki satu ayah dan supaya kamu tidak terkena fitnah
maka hendaklah orang-orang yang bertawakkal menyerahkan segala urusannya karena Dia-lah Dzat yang memberikan kecukupan dan tidak ada yang memberikan kecukupan kecuali Dia yang Maha Perkasa dan Maha Besar kekuasaan-Nya.
Pelajaran yang dapat diambil dari ayat: Diperbolehkan untuk memperingatkan seorang mukmin terhadap sihir dan mencari jalan untuk dapat menangkalnya, disertai keyakinan bahwa itu tidak akan bermanfaat terhadap Allah Ta’ala sedikitpun dan bahwa segala keputusan ada di tangan-Nya yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Wajib bertawakkal kepada Allah Ta’ala dengan terus melakukan perbuatan yang dia inginkan, serta menyerahkan urusan yang akan terjadi kepada Allah Ta’ala.
(Tafsir Al-Aisar)

[يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ [يوسف: 87

87. Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.

carilah kabar keduanya dengan keberanian kamu untuk bertanya dan mencari informasi tentang keduanya.
Pelajaran yang dapat diambil dari ayat: Haram berputus asa dari karunia dan rahmat Allah di saat ada musibah.
(Tafsir Al-Aisar)

[وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ [لقمان: 13

13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

Kemudian Allah menyebutkan sebagian nasehat dan petuah Luqman kepada putranya. Diawali dengan peringatan agar tidak syirik, dosa paling buruk dan hina,
sebutkanlah kepada kaummu nasehat Luqman Al-Hakim untuk memberi nasehat dan petunjuk kepadanya: Anakku, jadilah kamu orang yang pandai dan janganlah kamu mempersekutukan siapapun dengan Allah, baik manusia, patung atau anak.
syirik itu menjijikkan dan kezhaliman yang fatal, sebab meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Barangsiapa menyamakan antara pencipta dan makhluk, antara Tuhan dan berhala, pasti dia orang yang paling tolol, paling tidak masuk akal, berhak disebut orang zhalim dan layak dimasukkan dalam kategori binatang.
(Shafwatut Tafasir)

[يَابُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ [لقمان: 16

16. (Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus (2) lagi Maha Mengetahui.

Kemudian pembicaraan kembali kepada wasiat Luqman: anakku, jika kesalahan dan maksiat hanya kecil, meskipun seberat biji sawi, lalu kesalahan itu disamping sangat kecil, berada di tempat paling samar dan paling rahasia, misalnya di dalam batu besar yang halus atau di tempat paling tinggi dari langit atau dari bumi, maka Allah mendatangkannya dan memperhitungkannya. Inti ayat ini adalah membuat gambaran, bahwa tidak ada yang samar bagi Allah di antara amal perbuatan hamba. Allah Mahahalus kepada para hamba dan Mahatahu batin segala sesuatu.
(Shafwatut Tafasir)

[يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ [لقمان: 17

17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

jagala shalat pada waktunya lengkap dengan khusyu’nya dan etikanya, perintahkanlah semua kebaikan dan fadhilah kepada manusia, cegahlah mereka dari segala kehinaan dan keburukan, sabarlah atas ujian dan musibah, sebab orang yang mengajak kebaikan menjadi sasaran gangguan. Abu Hayyan berkata: Pertama kali Luqman mencegah anaknya dari syirik, kedua kalinya dia memberi tahu anaknya tentang ilmu Allah dan kekuasaan-Nya yang jelas. Kemudian Luqman menyuruh anaknya untuk melakukan hal yang menjadi batu loncatan untuk menuju ridha Allah, yaitu ibadah. Pertama kali Luqman memerintahkan ibadah paling utama yaitu shalat, lalu amar makruf dan nahi munkar, lalu sabar atas ujian yang diterimanya karena amar makruf, sebab seringkali orang yang amar makruf menjumpai aral melintang. Hal-hal tersebut termasuk yang diwajibkan dan diperintahkan oleh Allah. Ibnu Abbas berkata: Termasuk hakekat iman adalah sabar terhadap hal yang dibenci. Ar-Razi berkata: Yakini hal-hal di atas termasuk hal yang wajib dengan pasti.
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong),” janganlah kamu miringkan wajahmu dari mereka karena sombong kepada mereka. Al-Qurthubi berkata: Yakni jangan miringkan pipimu dari orang lain karena congkak, membanggakan dirimu dan menghina mereka. Demikian pendapat Ibnu Abbas, “dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh,” janganlah kamu berlagak ketika berjalan disertai takabur. “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri,” alasan bagi larangan sebelumnya. Yakni karena Allah benci orang yang sombong dan memandang dirinya besar, lebih baik daripada orang lain, berlagak ketika berjalan dan merendahkan orang lain.
Setelah mencegah pekerti yang tercela, Luqman memerintahkan pekerti yang mulia dan berkata: “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan,” pertengahanlah ketika berjalan antara tergesa-gesa dan pelan, “dan lunakkanlah suaramu,” janganlah kamu mengeraskannya, sebab tidak baik dan tidak layak bagi manusia yang berakal. “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai,” suara paling meresahkan adalah suara keledai. Barangsiapa mengeraskan suaranya, maka di menyerupai keledai dan melakukan kemunkaran yang buruk. Al-Hasan berkata: Orang-orang kafir dulu saling membanggakan diri dengan kerasnya suara. Maka Allah menyanggah mereka, bahwa seandainya itu baik, tentu keledai lebih baik daripada mereka. Qatadah berkata: Suara paling buruk adalah suara keledai, awalnya tarikan nafas dan akhirnya mengela nafas.
(Shafwatut Tafasir)

[فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ [الصافات: 102

102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Ibnu Katsir berkata, “Ibrahim memberitahukan hal itu kepada anaknya agar lebih ringan baginya dan untuk melatih kesabarannya dan kekuatannya dalam taat kepada Allah dan ayahnya. Jika anda bertanya: Kenapa Ibrahim meminta pendapat Ismail mengenai perintah Allah yang harus dijalankan? Jawabnya, Ibrahim sebenarnya tidak bermusyawarah untuk mengambil pendapat anaknya. Ini dilakukan agar Ibrahim mengetahui hati anaknya agar lebih kuat dan memantapkannya untuk sabar. Ismail menjawab dengan jawaban terbaik: laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Kelak Ayah akan menjumpai aku sabar insya Allah. Ini jawaban seseorang yang dikarunia kesabaran, santun, menurut perintah dan ridha kepada keputusan Allah.
(Shafwatut Tafasir)

Referensi:

http://qurancomplex.gov.sa/

Puasa Ramadhan dan Perbaikan Penghasilan

*inspirasi dari berbagai sumber

Puasa Ramadhan dalam Al-Quran dibahas pada Surat Al-Baqarah mulai ayat 183 hingga ayat 187. Dari rangkaian ayat-ayat tersebut, dapat ditarik konklusi bahwa: tujuan puasa adalah taqwa; tujuan Ramadhan ialah untuk memperkenalkan kembali kepada Al-Quran dan membangkitkan apresiasi terhadap Al-Quran. Keseluruhan konstruksi antara puasa dan Ramadhan, fakta bahwa telah didapatkan taqwa, fakta bahwa telah terkoneksi dengan Al-Quran; lalu, dimanakah hal tersebut termanifestasi pertama kali setelah Ramadhan? What’s next?

Al-Quran, sebagai tali Allah yang kepadanya umat berpegang, adalah rajutan ayat-ayat yang serasi. Sistematika urutan ayat ditentukan berdasar petunjuk Allah tentu bukan tanpa alasan. Ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk tenunan hidup seorang Muslim. Oleh karena itu, untuk menemukan tindaklanjut puasa Ramadhan, ayat berikutnya (Al-Baqarah 188) menyatakan,

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Diantara poin yang dapat diekstrak antara lain:
– memakan harta dengan cara batil
– menggunakan harta untuk menyuap atau kuasa memanipulasi aturan demi kepentingan pribadi sehingga dapat mengambil bagian/hak orang lain
– korupsi masalah finansial dengan penuh sadar dan pengetahuan

Jelaslah menurut alur Kalamullah, bahwa salah satu hasil taqwa akan muncul pertama kali pada “how we make money”; “the way we earn”; “financial dealing”. Kita boleh saja puasa sebulan penuh, sholat tarawih tiap malam, mengkhatamkan Al-Quran berkali-kali. Namun jika kembali berbisnis haram, cara-cara curang, penipuan, kebohongan dalam kontrak, penggelapan dana, pelaporan palsu, ketidakadilan upah, penyelewengan tanggung jawab, makan gaji buta, unprofessional, dan sebagainya; dengan demikian, maka kita meraih taqwa yang semu. Kita seringkali mempermasalahkan tentang makanan halalan-thoyyiban; apakah kita juga mempertimbangkan tentang bagaimana untuk memperoleh makanan tersebut? Uang yang digunakan untuk konsumsi pun harus baik.

Perbaiki pendapatan. Itulah salah satu transaksi yang pertama-tama Allah singgung pasca pembicaraan puasa Ramadhan. Karena jika dalam bulan Ramadhan kita dapat menahan diri dari kebutuhan paling mendasar, yaitu makan dan minum, maka selanjutnya bersihkan penghasilan untuk kehidupan yang lebih berkah. Dengan parameternya adalah hukum Allah, ketaqwaan akan berada disana, dan Allah niscaya memberi anugrah.

Raudhotul Mu’minin, 27 Ramadhan 1437H

Pengulangan Redaksi Ayat pada Surat Al-Kafirun

Ibnu katsir dalam tafsirnya membahas bahwa surat Al-Kafirun adalah surat pembebasan diri orang beriman dari perbuatan orang-orang musyrik dan surat yang memerintahkan orang beriman untuk membebaskan diri dari perbuatan orang-orang kafir.

قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ “Katakanlah, Hai orang-orang kafir” [QS 109:1] itu mencakup seluruh orang-orang kafir Quraisy. Ada yang menyebutkan: karena kebodohan mereka mengajak Rasulullah SAW untuk beribadah kepada berhala mereka selama setahun, sedangkan mereka menyembah Tuhan Muhammad SAW selama setahun pula, maka Allah SWT menurunkan surat ini. Dalam surat ini Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk membebaskan diri dari agama mereka secara menyeluruh, لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ “Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah,” [QS 109:2] yaitu berupa patung-patung dan berhala-berhala. وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ “Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah” [QS 109:3] maksudnya yaitu Allah Yang Maha Esa, yang tidak memiliki sekutu. Kata maa (apa) di sini berarti man (siapa). وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ ﴿٥﴾ “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah” [QS 109:4-5] maksudnya, Nabi SAW tidak akan mengikuti sembahan mereka (orang kafir), melainkan akan tetap menyembah Allah dengan cara yang Allah cintai dan ridhai. Oleh karena itu pula Allah berfirman: “Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah” Maksudnya, orang kafir tidak melaksanakan perintah Allah dan apapun yang telah Allah syari’atkan, yaitu (cara) dalam menyembah Allah. Continue reading “Pengulangan Redaksi Ayat pada Surat Al-Kafirun”

Ihsan dan Itqan dalam Bekerja

Telah dibahas sebelumnya mengenai kedudukan bekerja di dalam pandangan Islam juga nilainya sebagai bentuk ibadah serta ketaatan kepada Allah. Setelah dipahami aspek motivasi yang merupakan penggerak lurusnya amal atau pekerjaan, selanjutkan akan dikaji seputar aspek pelaksanaan pekerjaan. Bagaimanakah Islam menggariskan teknis dalam bekerja? Diantaranya adalah ihsan dan itqan yang dapat disetarakan dengan istilah profesionalisme.
Continue reading “Ihsan dan Itqan dalam Bekerja”

Bacaan Para Qari’ pada Zaman Ini

(Disadur secara bebas dari Kitab At-Tamhid fi `Ilm At-Tajwid karya Imam Al-Jazari*)

Sesungguhnya diantara hal yang diada-adakan oleh manusia dalam membaca Al-Qur’an adalah suara nyanyian, yang mengenainya Rasulullah saw telah mengabarkan bahwa hal itu kelak akan terjadi dan melarangnya. Disebutkan bahwa bagian Al-Qur’an yang pertama-tama dilagukan adalah Firman-Nya `Azza wa Jalla,
أما السفينة فكانت لمساكين يعملون في البحر
dibaca seirama dengan perkataan penya’ir,
أما القطاة فإني سوف أنعتها … نعتا يوافق عندي بعض ما فيها
Dalam hal ini Rasulullah saw telah bersabda**, “Hati mereka tertimpa fitnah, dan begitu juga hati orang yang mengagumi perkara tersebut.”
Continue reading “Bacaan Para Qari’ pada Zaman Ini”

Do`a untuk Menghafal Al-Qur’an dan Mencegah Lupa

Secara umum, para penghafal Al-Qur’an bila ditanya mengenai kiat menghafal akan menegaskan bahwa hal tersebut sederhana namun memerlukan komitmen. Diantaranya adalah kelurusan niat, kesungguhan usaha, pengulangan/muroja`ah, dan do`a. Yang disebut terakhir mungkin rentan/banyak terluputkan padahal sudah tentu justru itulah senjata pamungkas bagi setiap mu’min. Di atas segalanya, Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan untuk manusia. Untuk bisa menguasainya maka mintalah karunia itu kepada Allah. Jangan sampai terjebak pada arogansi karena mengandalkan strategi atau kemampuan ingatan semata.

Ibnu Katsir dalam Fadha’ilul Qur’an pada bagian akhirnya mencantumkan Bab Do`a Nabi untuk Menghafal Al-Qur’an dan Mencegah Lupa. Peneliti naskah kitab tersebut (Abu Ishaq Al-Huwaini) mengomentari bahwa secara garis besar hadits padanya tidak shahih dari segi sanad dan matan.* Selagi berhati-hati dalam mengambil hadits tersebut, do`a yang terpetik setidaknya bisa menjadi inspirasi akan hal-hal apasaja yang patut disertakan dalam munajat kita. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba pilihan-Nya yang mewarisi Al-Qur’an dengan baik. Berikut ini adalah salah satu redaksi haditsnya;
Continue reading “Do`a untuk Menghafal Al-Qur’an dan Mencegah Lupa”

Jangan Mengubah Sangka kepada Allah

Iman seseorang akan terlihat dengan jelas ketika menghadapi cobaan. Ia terus berdo`a dengan sungguh-sungguh, namun tidak kunjung melihat tanda-tanda dikabulkan. Harapannya tidak pernah berubah meski banyak alasan untuk putus asa. Karena ia tahu benar bahwa Tuhannya lebih mengetahui apa yang terbaik baginya dibanding dirinya. Tidakkah Anda mendengar kisah Nabi Ya`qub as? Dia didera cobaan selama 80 tahun, tapi harapannya tidak pernah berubah. Ketika dia kehilangan Bunyamin setelah kehilangan Yusuf as, harapannya tetap tak berubah. Dia justru berkata,

“Mudah-mudahan Allah berkenan mendatangkan mereka semuanya kepadaku.” (QS Yusuf: 83)

Jadi, jangan sekali-kali Anda merasa terlalu lama didera cobaan dan menggerutu karena terlalu banyak berdo`a. Karena Anda sedang diuji dan diminta untuk bersabar dan berdo`a. Jangan pernah merasa putus asa dari rahmat Allah, meski cobaan sudah lama mendera.

“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” (QS Yusuf: 87)

Kendati banyak sekali musibah, derita dan perubahan yang silih berganti mendera Nabi Ya`qub as, namun satu hal yang tidak pernah berubah pada dirinya adalah dia selalu berbaik sangka kepada Allah.

Sumber: Shaydul Khathir, Ibnul Jauzi

Nasionalisme yang Sebenarnya

Risalah dari Prof. DR. Muhammad Badi’, Mursyid Am Ikhwanul Muslimin, 29-11-2012
Penerjemah:
Abu ANiSA

Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah saw beserta keluarga dan para sahabat serta orang-orang yang mendukungnya, selanjutnya…

Bahwa cinta kepada kampung halaman adalah naluri dan fitrah yang dianugerahkan kepada Manusia, bahkan dianugerahkan kepada seluruh makhluk.. Tidakkah Anda melihat burung-burung bermigrasi melakukan perjalanan ribuan mil, dan kemudian kembali ke habitat aslinya setelah melewati suasana yang keras berupa cuaca yang keras atau iklim yang parah? ..
Continue reading “Nasionalisme yang Sebenarnya”