Tafsir Surat Thaha Ayat 2

Allah swt berfirman,
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
Maknanya adalah, “Wahai engkau, tidaklah Kami menurunkan kepadamu Al-Qur’an untuk menyusahkanmu. Tidaklah Kami menurunkannya maka Kami membebanimu dengan apa yang tidak kau sanggupi dari mengamalkannya.” Tidaklah Kami menurunkan (dengan keagungan Kami) kepadamu (yang terkemuka dari makhluk Kami) Al-Qur’an (Kitab yang paling agung, yang terkumpul segala kebaikan, penolak segala keburukan, yang telah Kami mudahkan dengan lisanmu) untuk membuatmu susah (yaitu lelahnya hatimu karena sedikitnya yang mengikuti seruanmu dan penentangan kaummu). Az-Zamakhsyari berkata, “Bahwa tidak ada atasmu kecual untuk menyampaikan dan mengingatkan; tidak ditetapkan atasmu untuk bertanggung jawab atas keimanan mereka sehingga tidak perlu melampaui batas dalam menyampaikan risalah serta pengajaran yang baik.”

Pada ayat ini juga terdapat qiro’at/bacaan (ما نزلنا عليك القرآن) sebagai isyarat bahwa Al-Qur’an diturunkan bertahap, tidak sekaligus. Dalam bahasa Arab, huruf (مَا), memiliki fungsi dan makna yang bermacam-macam. Di antaranya, huruf ini bisa merupakan kata sambung (isim maushul), partikel negasi/pengingkaran (harf nafi), serta kata tanya (istifham). Jika ia berfungsi sebagai kata sambung, maka arti dari huruf (مَا) adalah ‘yang’. Sedangkan jika huruf tersebut berfungsi sebagai partikel negasi, maka artinya adalah ‘tidak’. Dalam teks, ia dapat dibedakan melihat konteks kalimat selanjutnya. Untuk pengucapan, pembedanya terletak pada unsur suprasegmentalnya, yaitu unsur bunyi bahasa yang berupa panjang-pendek, lembut-keras, tekanan, nada, dan jeda. Dalam mengucapkan (مَا) dalam arti ‘yang’, tidak diperlukan penekanan; sedangkan jika huruf tersebut berfungsi sebagai partikel negasi, maka perlu penekanan serta terkadang dihiperbolis dengan panjangnya pelafalan. Penempatan kata negasi di awal perkataan merupakan salah satu gaya bahasa Al-Qur’an untuk penegasan suatu hal. Preposisi (علي) secara harfiyah bisa diterjemahkan ‘di atas’. Jika ia tidak berangkai dengan preposisi (ل) maka artinya bisa ditarik secara umum. Akan tetapi, jika preposisi (علي) menemui kata lain dengan preposisi (ل) -secara harfiyah berarti ‘pada’- dalam satu kalimat secara bersamaan, makna preposisi tersebut tidak bisa lagi diterjemahkan secara harfiyah ‘di atas’ atau ‘pada’ lagi. Namun, makna (ل) menunjukkan makna yang baik, sedangkan (علي) menunjukkan makna yang buruk. Contoh dalam Al-Qur’an seperti pada Al-Baqarah ayat 286 (لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ). Adapun huruf lam (ل) pada kata (لِتَشْقَى) adalah sebagai penanda peruntukan/kegunaan (ta`lil).

Surat ini adalah Makkiyyah kesemuanya. Ayatnya berjumlah seratus tiga puluh lima. Terdiri dari 1641 kata dan 5242 huruf. Kaitan surat ini dengan bagian akhir dari surat sebelumnya adalah bahwa ketika Allah menegaskan tentang Al-Qur’an dipermudah dengan lisan (bahasa) Rasulullah saw pada ayat (لتبشر به المتقين وتنذر به قوماً لداً) -Maryam 97- hal ini kemudian dikuatkan dengan firman-Nya (ما أنزلنا عليك القرآن لتشقى إلاّ تذكرة لمن يخشى). Surat ini diawali dengan penegasan kepada Rasulullah saw bahwa tidak ditetapkan atasnya kesusahan dengan risalah yang diturunkan. Setelah itu ada bagian perintah untuk menyembah Allah, Tuhan satu-satunya, yang mengetahui baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang mengetahui yang diluar hati maupun yang dilubuknya, Tuhan tempat manusia kembali baik mereka yang taat maupun yang berpaling. Kemudian diceritakan kisah Musa as di awal risalah, pengutusannya kepada Bani Israil, usaha membawa mereka keluar dari Mesir, dan khususnya cerita munajat Musa as dengan Allah serta pertemuan Musa as dengan Fir`aun dan para penyihirnya, yang dalam kesemuanya itu Allah menegaskan selalui menyertai Musa as (dan Harun as) dikarenakan Allah-lah yang memilihnya. Lalu adapula sekilas kisah tentang Adam as yang diberikan rahmat dan hidayah oleh Allah setelah ia melakukan kesalahan, sehingga manusia setelahnya diberi pilihan untuk mendapat petunjuk atau sesat setelah adanya peringatan serta risalah. Kemudian ditutup dengan kisah penggambaran setelah kiamat.

Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw berkata, “Aku diberikan (surat) Thaha dan dua Surat Taasiin dari lauh-lauh Musa.” (Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam As-Sunan dan Hakim dalam Al-Mustadrak). Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah membaca surat Thaha dan surat Yasin seribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Ketika para malaikat mendengar Al-Qur’an, mereka berkata, ‘Beruntunglah umat yang diturunkan surat itu padanya, beruntunglah rongga yang mengandung surat itu, dan beruntunglah lidah yang berbicara dengan surat itu.'” (Diriwayatkan oleh Darimi dalam As-Sunan). Kedua riwayat tersebut lemah.

Al-Kalbi berkata, “Ketika wahyu diturunkan kepada Rasulullah saw di Makkah, beliau bersungguh-sungguh dalam beribadah, lama berdiri dalam shalat, serta shalat semalaman penuh, maka Allah menurunkan ayat tersebut dan memerintahkan untuk memperingan diri.” Juwaibit meriwayatkan dari Adh-Dhahhak, setelah Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasul-Nya, maka beliau dan juga para sahabatnya melaksanakannya, lalu orang-orang musyrik dari kaum Quraisy berkata: “Al-Qur’an ini diturunkan kepada Muhammad agar dia menjadi susah.” Muqatil berkata, “Sesungguhnya Abu Jahal, Walid bin Mughirah, An-Nadhr bin Al-Harits, dan Muth`im bin `Adi berkata kepada Rasulullah saw ketika mereka melihat banyaknya ibadah beliau, ‘Sungguh kau menjadi susah dengan meninggalkan agama kami, agama bapak-bapakmu.’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak demikian, namun aku diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam.’ Mereka berkata lagi, ‘Tidak, bahkan kamu menjadi susah.'” Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat tersebut (Thaha 1-3).

Dalam Sirah Ibnu Hisyam, disebutkan Ibnu Ishaq meriwayatkan tentang keislaman `Umar seperti yang diceritakan oleh adiknya, Fathimah binti Al-Khaththab. Tatkala pada suatu hari Fathimah dan suaminya, Sa`id bin Zaid bin `Amr bin Nufail, dikunjungi oleh Khabbab bin Arat yang membacakan Al-Qur’an di rumah mereka. Ketika itu mereka semua masih menyembunyikan keislamannya dari keluarga besarnya. Di pihak lain, `Umar keluar rumah sambil menghunus pedangnya, dengan maksud ingin membunuh Rasulullah saw. Dalam perjalanan menuju rumah Nabi, ia berpapasan dengan Nu`aim bin `Abdullah An-Naham, seorang laki-laki yang juga dari sesama kaum, Bani `Ady bin Ka`ab. “Hendak ke mana engkau wahai `Umar?” Sapa orang tersebut. “Aku mencari Muhammad, orang yang telah keluar dari agama itu, yang menyelisihi pemimpin Quraisy dan menjelekkan agama mereka serta menghina tuhan-tuhan mereka. Maka aku akan membunuh Muhammad.” Jawabnya. Nu`aim berkata, “Demi Allah! Sudah lupa diri kau wahai `Umar! Apakah engkau mengira Bani Abdi Manaf akan membiarkanmu bebas di bumi jika kau membunuh Muhammad?! Apa kau tidak menengok keluargamu dan memperhatikan mereka?” `Umar bertanya, “Ada apa dengan keluargaku?” Nu`aim menjawab, “Iparmu yang juga anak pamanmu, Sa`id bin Zaid bin `Amr, serta adikmu Fathimah binti Al-Khaththab juga telah berislam dan mengikuti Muhammad dalam agamanya.” Maka `Umar mengurungkan niatnya menuju rumah Rasulullah, dan segera mengubah tujuannya yaitu pergi menemui adik perempuannya dan iparnya. Sementara itu di dalam rumahnya, Fathimah adik `Umar dan suaminya sedang menghadapi shahifah (lembaran wahyu) yang berisi surat Thaha yang dibacakan oleh Khabbab bin Arat. Ketika Khabbab mendengar kedatangan `Umar ia segera menyingkir ke bagian belakang ruangan, sedangkan Fathimah menyembunyikan shahifah Al-Qur’an. Tatkala masuk rumah, `Umar yang sempat mendengar ayat Al-Qur’an yang dibaca Khabbab langsung bertanya, “Apa suara bisik-bisik yang sempat aku dengar dari kalian tadi?” Maka dijawab oleh keduanya bahwa itu hanya sekedar bisik-bisik diantara mereka. “Kudengar bahwa kalian mengikuti agama Muhammad.” Lanjut `Umar sembari menyerang iparnya, Sa`id bin Zaid. Fathimah mendekat untuk menolong suaminya dan mencegah tindakan `Umar. Namun tangan `Umar keburu memukul hingga mengenai adiknya sampai berdarah. Dengan berang Fathimah berujar, “Memang benar kami telah berislam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Silakan perbuat apasaja yang kau mau!” Melihat keteguhan adiknya yang ia lukai, `Umar menyesal atas apa yang telah ia perbuat. “Berikan padaku lembaran yang tadi kalian baca! Aku ingin melihat apa yang telah dibawa Muhammad.” Kata `Umar. Adiknya menjawab, “Sungguh kami takut kepadamu.” `Umar menimpali sambil bersumpah demi tuhan-tuhannya, “Jangan takut padaku.” Dengan harapan kakaknya mau masuk Islam, Fathimah berkata, “Engkau najis lantaran syirik. Sungguh ini (lembaran Al-Qur’an) tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci.” `Umar segera bangkit dan mandi. Selesai mandi ia pegangi lembaran berisi Surat Thaha itu dan mulailah ia membaca isinya. “Alangkah indah dan mulianya kalam ini.” Mendengar ucapan `Umar, Khabbab segera muncul dari ruang belakang lalu berkata, ” Demi Allah, sungguh aku berharap Allah memilihmu atas do`a Nabi saw yang kudengar kemarin, ‘Ya Allah kuatkanlah Islam dengan Abi Al-Hakam bin Hisyam atau dengan `Umar bin Al-Khaththab.'” Mendengar itu, `Umar berkata, ” Wahai Khabbab, tunjukkan padaku di mana Muhammad berada saat ini, aku akan menemuinya dan berislam!” Khabbab menjawab, “Rasulullah saat ini sedang berada di sebuah rumah di kaki bukit Shafa bersama sekelompok sahabatnya.” `Umar segera bergegas menuju tempat yang dimaksud dengan masih membawa pedangnya (karena begitu terburu), iapun menggedor pintu rumah. Seseorang mengintip dari celah pintu dan nampak olehnya sosok `Umar sedang berdiri sambil menghunus pedang. Ia panik dan kembali kepada Rasulullah saw seraya berkata, “Ya Rasulullah, itu `Umar bin Khaththab membawa pedang.” Hamzah bin `Abdul Muththalib, yang juga berada di tempat itu, berkata “Silakan dia masuk. Jika lelaki itu menghendaki kebaikan, kita jamu dia; Jika dia datang menghendaki keburukan, kita bunuh dia dengan pedangnya sendiri.” Rasulullah berkata, “Persilakan dia!” Maka lelaki yang menghampiri `Umar mempersilakannya dan mengantarnya menghadap Rasulullah di dalam ruangan. Beliau saw berkata, “Apa gerangan yang membuatmu datang? Demi Allah, aku kira engkau tidak mau menghentikan tindakanmu, hingga Allah menurunkan bencana?!” Maka `Umar berkata, ” Ya Rasulullah, Aku datang untuk beriman kepada Allah dan Rasulnya dan apa yang datang dari Allah.” Maka bertakbirlah Rasulullah saw sedemikian hingga terdengar oleh seluruh yang berada di dalam ruangan, bahwa `Umar telah masuk Islam.

Tidaklah Al-Qur’an itu diturunkan untuk membawa kesulitan di dunia atau hari kemudian, melainkan ia diturunkan ke dalam hatimu untuk memberi kebahagiaan dengan berakhlak sesuai dengan akhlak Al-Qur’an sehingga menjadi berakhlak mulia yang membahagiaan penduduk langit dan bumi. Karena sesungguhnya agama Islam dan Al-Qur’an adalah kedamaian yang membawa kepada kemenangan dan sebab mendasar bagi setiap kebahagiaan. Karena sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesusahan bagimu “يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ” (Al-Baqarah 185) serta tidak menjadikan kesempitan dalam agama “وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ” (Al-Hajj 78). Al-Qur’an diturunkan sebagai pengingat bagi mereka yang takut kepada Rabb-nya sehingga menyikapinya dengan ketaatan. Justru kekafiran itulah kesusahan yang sebenarnya.

Bukanlah maksud wahyu dan turunnya Al-Qur’an kepadamu serta disyari`atkannya syari`at untuk menyulitkan dengannya, dan menjadikan syari’at itu beban yang menyusahkan bagi penerimanya, dan melemahkan kemampuan orang-orang yang beramal. Wahyu, Al-Qur’an, dan syari`at adalah manhaj dari Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang menjadikannya sarana bagi kebahagiaan, keberuntungan serta kemenangan, yang tujuannya dimudahkan dalam menuju pintu-pintu dan jalannya. Ia adalah makanan yang bergizi bagi hati dan ruh, serta rahmat bagi badan. Ia bisa disikapi oleh fitrah yang murni dan akal yang lurus dengan penerimaan dan kepatuhan, dengan pengetahuan bahwa ia membawa kebaikan serta kemuliaan di dunia dan akhirat.

Al-Qur’an tidak diturunkan untuk membawa kepada kepayahan, tidak diturunkan untuk menyulitkan dalam tilawah dan beribadah dengannya hingga melampaui kesanggupan, tidak pula ia terlalu sulit untuk diterima. Ia adalah pembawa kemudahan bagi manusia, tidak menguras energi yang melebihi kemanusiawian. Ia tidak membebani kecuali sesuai dengan kemampuan optimasi umat. Beribadah menuruti hukum-hukumnya adalah dalam batasan nikmat, bukan hukum yang mencelakakan. Ia adalah kesempatan untuk meniti pertemuan dengan Sang Pencipta dalam keteguhan, kekuatan, dan ketenangan yang diliputi keridhoan-Nya

Barangsiapa yang diberi ilmu oleh Allah, berarti Dia telah menghendaki kebaikan yang banyak baginya, sebagaimana yang ditegasan di dalam kitab shaihain dari Mu’awiyah, dimana dia bercerita, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka Dia akan memahamkan ilmu agama kepadanya.” (HR Bukhari dan Muslim). Diriwayatkan oleh Thabrani dari Tsa`labah bin Hakam dari Nabi saw, “Allah akan berkata pada para ulama (yang mengamalkan ilmu mereka) di hari kiamat, ‘Sesungguhnya Aku tidak menjadikan ilmu-Ku dan kebijaksanaan-Ku pada kalian melainkan Aku ingin mengampuni kalian atas apa yang telah kalian lakukan dan Aku tidak peduli (besarnya dosa kalian).'” Qatadah mengemukakan: “Tidak. Demi Allah, Allah tidak menjadikannya (Al-Qur’an) sebagai suatu yang menyusahkan, tetapi justru Dia menjadikannya sebagai rahmat, cahaya, dan petunjuk menuju ke surga.” Sesungguhnya Allah menurunkan kitab-Nya dan mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat yang dilimpahkan kepada para hamba-Nya agar orang yang ingat semakin ingat, dan orang yang mendengar bisa mengambil manfaat dari apa yang didengarnya dari Kitab Allah. Dan Al-Qur’an merupakan peringatan yang diturunkan oleh Allah yang memuat ketetapan halal dan haram-Nya.

Ad-Din adalah cahaya dan kekayaan, di dunia dan lebih-lebih lagi di akhirat. Tanpa Ad-Din, maka sebaliknyalah yang berlaku di tengah segala kesemuan dunia. Hadits qudsi riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah, ia bercerita, Rasulullah bersabda: “Allah Ta’ala berfirman, ‘Hai anak cucu Adam, luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi dadamu dengan kekayaan dan akan Aku tutup kemiskinanmu. Dan jika kamu tidak melakukannya, maka akan Aku penuhi dadamu dengan kesibukan dan tidak pula Aku menutupi kemiskinanmu.'” Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, aku pernah mendengar Nabi bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan semua kesusahan menjadi satu kesusahan saja, yaitu kesusahan pada hari kembali kepada-Nya (kiamat), maka Allah akan mencukupkan baginya dari kesusahan dunianya. Dan barangsiapa yang menjadikan kesusahannya bercabang-cabang dalam berbagai kehidupan dunia, maka Allah tidak akan peduli kepadanya, di lembah mana dari bumi-Nya ini ia akan binasa.” Diriwayatkan pula dari hadits Syu’bah, dari Zaid bin Tsabit, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai pusat perhatiannya (tujuannya), maka Allah menceraikan urusannya dan menjadikan kemiskinannya ada di hadapan matanya. Tidak ada sesuatu pun dari dunia ini datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan menyatukan urusannya dan melimpahkan kekayaan-Nya di dalam hatinya, lalu dunia datang kepadanya dalam keadaan hina.” Disebutkan dalam shahihain, Rasulullah bersabda: “Tidak ada seorang Nabi pun melainkan telah diberikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan, yang kepadanya manusia beriman. Sedangkan yang diberikan kepadaku adalah berupa wahyu yang diwahyukan oleh Allah kepadaku. Maka aku berharap, aku mempunyai pengikut yang paling banyak pada hari Kiamat kelak.”

Dengan demikian pelajaran yang didapat dari penggalan ayat dari Surat Thaha ini adalah: 1. Sanggahan atas anggapan bahwa beban syari`at adalah kesusahan dan penganiayaan bagi hamba. 2. Penetapan aqidah atas wahyu dan nubuwwah. 3. Penetapan sifat-sifat ilahi seperti istawa dengan kewajiban mengimaninya tanpa ta’wil atau ta`thil atau tasybih, namun dengan menetapkannya sesuai dengan kemuliaan Allah. 4. Penetapan rububiyyah Allah atas segala sesuatu. 5. Penetapan tauhid serta asma Allah yang baik dan sifat-Nya yang tinggi.

Allahu wa Rasuluhu a`lam.

Rujukan:
Jami` Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, Ibnu Jarir Ath-Thabari
Tafsir Al-Qur’an Al-`Azhim, Ibnu Katsir
Ma`alim At-Tanzil, Al-Baghawi
Ruhul Ma`ani fi Tafsir Al-Qur’an Al-`Azhim wa As-Sab` Al-Matsani, Syihabuddin Mahmud Al-Alusi
Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, Muhammad Ibnu Hayyan
Fathul Qadir, Asy-Syaukani
Zadul Masir, Ibnul Jauzi
Mafatihul Ghaib, Fakhruddin Ar-Razi
Nazhm Ad-Durar fi Tanasib Al-Ayat wa As-Suwar, Ibrahim Al-Biqa`i
Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, Nashiruddin Al-Baidhawi
Al-Kasysyaf, Abul Qasim Mahmud Az-Zamakhsyari
An-Nukat wal `Uyun, Abul Hasan `Ali Al-Mawardi
Ad-Durl Mantsur fi Ta’wil bil Ma’tsur, Jalaluddin As-Suyuthi
At-Tahrir wa At-Tanzil, Ibnu `Asyur
Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb
Tafsir Haqqi, Al-Haqqi
Tafsir Al-Wasith, Muhammad Sayyid Thanthawi
Aisarut Tafasir li Kalam Al-`Aliyyil Kabir, Abu Bakar Al-Jaza’iri
Taysir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalam Al-Mannan, `Abdurrahman bin Nashir bin Sa`di
Aisarut Tafasir, As’ad Haumid
Adhwaul Bayan, Muhammad Amin Asy-Syanqithi
Zahrotut Tafasir, Abi Zahrah
Lubabut Ta’wil fi Ma`anit Tanzil, `Alauddin `Ali Al-Khazin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *