Menyikapi 3G (Ghibah Gunjingan dan Gosip)

setali tiga uang: ghibah, gunjingan, gosip, sama saja artinya. beragam definisi namun semuanya mengerucut kepada satu kesimpulan. ghibah adalah penyebutan suatu yang ada pada orang lain (dimana orang tersebut tidak hadir saat pengemukaan hal tersebut) yang sekiranya orang itu mendengar ia akan merasa kesal. jika perkara itu benar maka itulah ghibah, jika perkara itu tidak benar maka itu menjadi dusta (fitnah). lain halnya jika orang tersebut hadir, maka itu adalah ejekan. ghibah seringkali dikaitkan dengan perusakan kehormatan seseorang.

seorang kawan bercerita bahwa ia satu ketika pernah melihat temannya (ikhwan) duduk berdua berhadapan di meja kantin bersama akhwat dengan suasana yang amat sangat cair di antara keduanya. sang ikhwan ini adalah koleganya sesama aktivis masjid sedangkan sang akhwat tampak asing. namun, balutan jilbab yang sedemikian apik merepresentasikannya sebagai muslimah yang baik. dengan sekejap sapa, kawan mengisyarat salam kepada ikhwan tersebut kemudian lekas berlalu setelah mendapat respon. setelah itu mulailah berkecamuk di hati kawan prasangka-prasangka buruk terhadap temannya itu. tiba-tiba ikhwan tersebut menghampiri dan memperkenalkan akhwat semejanya bahwa mereka berdua adalah saudara kandung. akhirnya lunturlah semua prasangka serta urunglah niat ghibah yang barangkali muncul.

kisah di atas memberi pelajaran agar tidak terburu berburuk sangka dan supaya membudayakan klarifikasi (tabayyun). tapi yang menarik dibahas kali ini adalah bahwa prasangka buruk maupun ghibah/gunjingan/gosip (selanjutnya disebut 3g) mustahil muncul tanpa sebab. dimana ada asap pasti ada api. jika tidak ingin menjadi objek 3g maka jangan sekali-kali bertindak kontroversial.

fenomena pergaulan antar lawan jenis memang sasaran empuk bagi virus 3g. dari semenjak tingkat sekolah menengah, hal tersebut adalah topik yang seakan tidak ada habisnya. pada beberapa kasus, ada yang justru senang ‘digosipin’. tapi kebanyakan orang tidak suka jadi objek gosip dengan alasan karena desas-desus itu tidak benar atau fitnah. sekali lagi simak kedua paragraf sebelum ini. merebaknya isu bukan cuma disebabkan oleh orang lain yang tidak bisa mengendalikan lisannya, tapi sedikit banyak si objek (yang ‘digosipin’) pun berkontribusi menimbulkan percikan yang memancing munculnya gosip.

bisa jadi kita ‘pantas’ digunjing karena pada kenyataannya kita tidak bisa menjaga interaksi dengan lawan jenis. tercorengnya citra barangkali merupakan ‘hukuman’ akibat pelanggaran kita terhadap aturan agama. padahal hubungan antara ikhwan dengan akhwat ajnabiyah (asing/bukan keluarga) maupun hubungan antara akhwat dengan ikhwan non-mahram memiliki batasan tertentu.

lalu semua itu selesai dengan meyakini bahwa 3g yang menyebar adalah bohong belaka. toh lagipula teman-teman kita dan orang lain pun tidak percaya pada 3g itu. dengan demikian kita dan rekan kita yang sama-sama ditimpa 3g bisa tenang hati. benarkah selesai? coba dipandang dari sisi lain.

si pelaku 3g mencium ‘indikasi’ yang terjadi pada kita. kemudian mulailah pelaku menyebarkan berita itu. jatuhlah keburukan baginya karena ghibah adalah perbuatan yang dilarang. si penggunjing bahkan diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya (sesama manusia). selanjutnya lihat surat al-hujurat mulai ayat 11-12.

abaikan variabel kesalahan si pelaku, karena hal itu memang diluar kontrol kita. si pelaku meng-ghibah karena tergoda oleh keteledoran perilaku kita yang memberi celah terselipnya gosip. selain image kita terganggu, si pelaku pun terkena dosa. dengan demikian secara tidak langsung, kita (akibat tindakan ceroboh yang memancing gosip) telah menimpakan kejelekan pada pelaku ghibah tersebut! itulah mengapa ada beberapa pendapat yang mengkategorikan ghibah sebagai dosa besar. karena dampak buruknya menimpa si pelaku, si korban, bahkan juga merugikan pihak-pihak lain yang termakan isu.

sekarang jelaslah bahwa perkara 3g bukan semata bagaimana mengekang hati, pikiran, dan lisan agar tidak melontarkan ghibah (di sudut pelaku). korban (atau calon korban) pun harus senantiasa introspeksi, bagaimana menjaga tindak-tanduk agar tidak menghidangkan hal-hal yang terancam di-ghibah-kan. dan kita setiap saat terancam dapat menjelma baik sebagai pelaku maupun korban.

kembali ke segmen kisah di awal tulisan. penjelasan tentang etika interaksi ikhwan-akhwat sudah banyak dibahas sehingga tidak perlu dipaparkan panjang-lebar pada wacana ini. hijab fisik sering dikupas di pelbagai kajian misalnya menundukkan pandangan, dll. namun hal penting yang kadang luput adalah mengenai hijab amal. maksud hijab amal adalah dengan tidak memfasilitasi ‘khalwat’ ikhwan-akhwat secara struktural dalam kepanitiaan atau organisasi. sebagai contoh, suatu divisi yang hanya diisi berdua (satu ikhwan satu akhwat) terang saja menuntut interaksi intensif yang rentan melampaui batasan syariat.

jangan lupakan hakikat hidup untuk ibadah. apa artinya semua capaian organisasi ataupun kepanitiaan jika pada keberjalanannya dipenuhi hal-hal yang tidak direstui Allah? selayaknya dalam beramal di lembaga/wajihah umum/kerohanian, seorang mukmin lebih mengharapkan ridho Allah sebagai cita tertinggi daripada ridho ketua, ridho investor, atau ridho stakeholder lain.

begitulah islam mencegah keburukan dengan cara menutup semua jalan menuju kesana. sayangnya kita, manusia, kerap menyepelekan nilai-nilai itu. padahal, siapa yang menjaga dirinya dalam koridor syar’i, niscaya Allah akan memelihara kehormatannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *