Etika Konfirmasi dan Klarifikasi

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al-Hujurat: 6]

“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta apabila ia mengatakan semua yang didengarnya.” [HR Muslim]

Lihat penjelasan tafsir Ibnu Katsir. Imam Ahmad rahimahullâh meriwayatkannya dalam hadits yang panjang tentang sebab turun ayat ini yang pada kesimpulannya turun karena peristiwa berita bohong yang harus diteliti kebenarannya dari seorang Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith tatkala ia diutus oleh Rasulullah untuk mengambil dana zakat dari Suku Bani Al-Musththaliq yang dipimpin waktu itu oleh Al-Harits bin Dhirar seperti dalam riwayat Imam Ahmad. Al-Walid malah menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka enggan membayar zakat, bahkan berniat membunuhnya, padahal ia tidak pernah sampai ke perkampungan Bani Musththaliq. Kontan Rasulullah murka dengan berita tersebut dan mengutus Khalid untuk mengklarifikasi kebenarannya, sehingga turunlah ayat ini mengingatkan bahaya berita palsu yang coba disebarkan oleh orang fasik yang hampir berakibat terjadinya permusuhan antar sesama umat Islam saat itu. Yang menjadi catatan disini bahwa peristiwa ini justru terjadi di zaman Rasulullah yang masih sangat kental dan dominan dengan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Lantas bagaimana dengan zaman sekarang yang semakin sukar mencari sosok yang jujur dan senantiasa beri’tikad baik dalam setiap berita dan informasi yang disampaikan?

Sayyid Thanthawi mengemukakan analisa redaksional bahwa kata “in” yang berarti “jika” dalam ayat “jika datang kepadamu orang fasik membawa berita” menunjukkan suatu keraguan sehingga secara prinsip seorang mu’min semestinya bersikap ragu dan berhati-hati terlebih dahulu terhadap segala informasi dari seorang yang fasik untuk kemudian melakukan pengecekan akan kebenaran berita tersebut sehingga tidak menerima berita itu begitu saja atas dasar kebodohan (jahalah) yang akan berujung kepada kerugian dan penyesalan. Maka berdasarkan acuan ini, sebagian ulama hadits melarang dan tidak menerima berita dari seseorang yang majhul (tidak diketahui kepribadiannya) karena kemungkinan fasiknya sangat jelas.

Dalam Tafsirnya, Syaikh As-Sa`di membahas: “Yang wajib dilakukan terhadap berita orang fasik adalah tatsabbut dan tabayyun (klarifikasi dan konfirmasi). Kalau ada bukti dan kondisi yang menunjukkan kejujurannya, maka bisa dilaksanakan dan dibenarkan. Namun apabila mengindikasikan sebuah kedustaan belaka, maka harus diingkari dan tidak perlu diikuti.”

Diriwayatkan dari Qatadah, “Sikap tabayun merupakan perintah Allah, sementara sikap terburu-buru merupakan arahan syaitan”. Wajib bagi kita melakukan tatsabbut dalam menyikapi berita-berita penting yang bisa mengakibatkan timbulnya gangguan atau bahaya atas diri maupun kehormatan seseorang atau komunitas berkaitan dengan berita yang kita dengar. Diharamkan bersikap tergesa-gesa yang dapat mengakibatkan seseorang menghukumi sesuatu dengan dasar persangkaan belaka, sehingga pelakunya nanti akan menyesal di dunia dan akhirat.

Kemana harus tabayyun? Abdullah bin Mubarak berkata, “Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka siapapun akan bisa berkata apapun.” Dalam ilmu hadits, khabar diambil diantaranya dari orang yang paham, terpercaya, dan memiliki kapasitas. Orang tersebut juga harus memiliki ‘sanad’ (intellectual chain) dan/atau syawahid (bukti). Hindarilah konfirmasi kepada orang-orang yang tidak berkapasitas apalagi ke khalayak umum yang akan berakibat meluasnya bisikan-bisikan tanpa ilmu. Diantara adab klarifikasi adalah membatasi masalah dan bukannya membuat isu melebar dan menyebar kepada pihak-pihak yang tidak berkepentingan sehingga membuka fitnah yang lebih besar.

“Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan ditanya.” [Az-Zukhruf: 19]

“Agama adalah nasihat (ketulusan)” [HR Muslim]

“Seorang mukmin, ialah orang yang menutupi aib dan menasihati. Sedangkan orang fasik, ialah orang yang merusak dan mencela.” [Imam Fudhail bin Iyadh]

”Nasihat, apabila dilakukan seperti apa yang telah kami sebutkan maka akan melanggengkan kasih sayang dan menjadi penyebab terwujudnya hak ukhuwah (persaudaraan).” [Imam Ibnu Hibban]

Dikutip dari berbagai sumber. Allahu wa Rasuluhu a`lam.

  1. Bahjatun-Nazhirin Syarah Riyadhus Shalihin
  2. Tafsir Qur’an Al-Azhim
  3. Taysir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan
  4. Al-Wafi fi Syarah Al-Arba`in An-Nawawiyyah
  5. http://asysyariah.com/kedudukan-sanad-dalam-islam.html
  6. http://www.dakwatuna.com/2008/02/413/sikap-tabayyun-terhadap-informasi/
  7. http://almanhaj.or.id/content/2936/slash/0
  8. http://majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=209&Itemid=96#32

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *