Engineering sebagai Fitrah Manusia

*Sebuah tadzakkur singkat dari buku yang lama tersimpan sejak undergraduate: Concepts in Engineering

Jika kita menengok kepada kursi yang kita duduki, perhatikanlah bahwa bagian besinya terbuat dari bijih besi dari pertambangan yang dibuat oleh insinyur pertambangan. Bijih besi kemudian dimurnikan oleh para insinyur metalurgi di sebuah pabrik yang dibuat oleh insinyur sipil dan mesin. Insinyur mesin juga mendesain komponen kursi beserta peralatan yang diperlukan untuk membuatnya. Bahan-bahan pelengkap kursi mungkin diturunkan dari minyak bumi hasil kerja insinyur perminyakan yang kemudian dimurnikan oleh insinyur kimia. Produk kursi kemudian didistribusikan oleh mobil truk yang dirancang oleh insinyur mesin, penerbangan, serta elektro di sebuah pabrik dimana insinyur industri mengoptimasi dari segi ruang, modal, dan sumber daya. Bahkan jalan yang dilalui truk bersangkutan adalah jalan yang didesain oleh insinyur sipil. Begitu jelas bahwa insinyur (atau lebih lanjut akan ditulis: engineer) memegang peran penting pada benda-benda ‘biasa’ di sekeliling. Maka tidak perlu dipertanyakan lagi akan peran engineer pada berbagai benda canggih yang beredar dalam kehidupan kita [1].

Etimologisnya, akar kata engineer (yang kemudian di Indonesia dikenal sebagai insinyur) diturunkan dari bahasa inggris engine dan ingenious yang keduanya berasal dari bahasa latin in generare yang berarti mencipta. Kata engineer tertelusuri dalam literatur sekitar tahun 200 masehi dimana penulis bernama Tertullian menceritakan peristiwa penyerangan Romawi terhadap Carthage menggunakan battering ram yang dideskripsikan ingenium. Kemudian, sekitar 1200 masehi, seseorang yang bertanggung jawab untuk mengembangkan peralatan perang serupa diberi titel sebagai ingeniator. Pada 1500-an masehi, engineer diasosiasikan sebagai seorang yang merancang mesin. Dewasa ini, perancang mesin akan dijuluki mechanical engineer oleh karena engineer sudah menjadi terminologi umum sebagai seorang yang menerapkan ilmu pengetahuan, matematika, dan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan manusia [1].

Engineer adalah seseorang yang mampu mengkomposisikan ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan masalah teknis yang muncul pada peradaban. A. M. Wellington mendefinisikan engineering sebagai seni melakukan sesuatu dengan baik dengan satu dollar yang mana selainnya hanya bisa melakukan hal yang sama dengan dua dollar [2]. Begitulah sisi ekonomis sangat kental dalam pertimbangan kerja-kerja engineer. Walaupun tidak mutlak seperti itu, karena tugas pokok di atas segalanya adalah menyelesaikan masalah atau problem solving.

Hasil-hasil engineering tidak jauh dari kemampuan menggunakan analogi. Dunia, alam sekitar begitu kaya akan desain untuk sebuah solusi. Perhatikanlah burung. Darinya seorang putera Adam as belajar cara untuk menguburkan saudara yang dibunuhnya [3]. Dari analogi sayap burung pula, Wright bersaudara mendesain pesawat terbang. Orville Wright menulis, “If the bird’s wings would sustain it in the air without the use of any muscular effort, we did not see why man could not be sustained by the same means” [4]. Perhatikanlah hingga kini, pesawat yang berharga jutaan dollar itu masih kalah aerodinamis ketimbang burung liar yang di pasar burung pun tidak dijual lantaran terlalu murah nominalnya. Maka perhatikanlah juga firman dalam kitab suci, “Do they not see the birds above them, spreading out their wings and folding them in? None upholds them except the Most Gracious. Verily, He is All-Seer of everything” [5].

Setiap manusia memiliki sosok engineer pada dirinya. Seorang anak yang bermain dengan lego dan berusaha membentuk bangunan dapat dikatakan sedang melakukan kerja engineer. Bahkan menilik sejarah, pada dasarnya kemampuan engineering mendahului pendirian basis sains. Lebih banyak kasus dimana solusi diperlukan sebelum teori dapat menjelaskan situasi praktikal. Sebagai contoh, beberapa bangunan besar, aqueduct, terowongan, tambang, jembatan sudah didirikan sebelum abad ke-17 ketika dasar-dasar sains dirumuskan untuk terapan teknologi. Itulah suatu naluri yang mungkin memang menjadi alasan mengapa manusia diciptakan untuk memakmurkan bumi.

Ketika malaikat bertanya tentang penciptaan manusia [6], momen itulah yang diabadikan untuk menunjukkan bahwa sejak awal keterwujudan Adam as dikelilingi atmosfer curiosity. Sebuah pengaruh yang akan melekat dan diwariskan sebagai mentalitas “to ask why” dan “to know how”. Dengan bekal pengetahuan akan “seluruh nama-nama” yang diajarkan Rabbnya [7], maka tidak salah jika interpretasi “khalifah di bumi” adalah benar-benar sebagai wakil Allah. Manusia dalam kapasitasnya mempunyai kemampuan mencipta, merekayasa dari segala yang Allah ciptakan di bumi. Untuk mendukung hal itu, dengan kekuasaan-Nya Allah menciptakan alam [8] serta memberi logika [9] sebagai rambu-rambu menuju kebenaran absolut yang harus disadari oleh para pemikir.

Namun manusia tidak akan lepas antara dua golongan esktrim. Dengan anugerah ketangguhan dalam military engineering, Nabi Daud as diperintahkan “Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur kepada-Ku” [10]. Nabi Sulaiman as dengan dihadapkan pada fenomena engineering menakjubkan, teleportasi singgasana kurang dari kejapan yang dilakukan oleh seorang ‘engineer’ yang diberikan ilmu, berkata, “Ini adalah fadhilah dari Rabb-ku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur ataukah kufur” [11]. Sebaliknya, Qarun dengan hasil enterpreneur-nya berkata, “Aku diberikan kekayaan berkat kepintaran diriku” [12]. Fir’aun mengandalkan chief technology officer-nya, Haman, dengan angkuh meminta didirikan bangunan tinggi berusaha menentang Tuhan [13]. Kemudian Samiri dari kaum Bani Israil beranjak takabbur dengan membuat sesembahan untuk menunjukkan kehebatan rekayasanya [14]. Padahal pendahulu mereka, para arsitek Tsamud, penduduk negeri adidaya `Ad, semuanya binasa [15]. Begitulah, ketika manusia menisbatkan kapabilitasnya hanya pada dirinya, kemudian seenaknya menggunakan kemampuannya tanpa mengindahkan aturan Sang Pemberi kemampuan. Dan cukuplah manusia disebut sombong ketika menolak kebenaran dan merendahkan orang lain [16].

Dunia yang ditinggali manusia menyediakan banyak permasalahan yang harus dihadapi. Bagi engineer, sebagian besar motivasi dalam hidup justru tumbuh dari perasaan yang dialami ketika memecahkan masalah berkelas. Manusia menjadi lebih baik karena kesusahan, bukan karena kemudahan. Jenis permasalahan pasti berbeda tiap zaman. Hal yang mutakhir akan menjadi kadaluarsa di masa yang akan datang. Namun satu potensi yang melekat pada manusialah yang mencegahnya punah, yaitu kemampuan untuk berpikir, mengurai, dan menyelesaikan masalah yang ada di hadapannya. Skill semacam itulah yang tidak akan pernah kadaluarsa. Manusia berprogres ketika mereka menghadapi alam untuk kelangsungan kehidupan. Alih-alih tunduk sepenuhnya pada alam, manusia bangkit untuk menjadi caretaker-nya. Sampai-sampai sebagai ekses bahkan bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi dengan dalih hak untuk meningkatkan standar hidup, penguasaan, aktualisasi, dan sebagainya.

Kemampuan engineering merupakan fitrah ciptaan Allah yang di-fitrahkan-Nya ke atas manusia [17]. Dengan melihat peran keinsinyuran kita yang sebegitu kentara di dunia ini, maka lihatlah lebih dalam sehingga akan disadari bahwa disana ada Sang Pemberi peran. Siapa yang mengenal hakikat dirinya, maka ia akan mengenal hakikat penciptanya; Siapa yang lupa pada penciptanya, maka ia akan lupa pada dirinya [18].

Catatan kaki:
[1] M. T. Holtzapple and W. D. Reece, 2005, Concepts in Engineering, NY, McGraw-Hill.
[2] A. M. Wellington, 1887
[3] Qur’an Surat 5:31
[4] O. Wright, 1899
[5] Qur’an Surat 67:19
[6] Qur’an Surat 2:30
[7] Qur’an Surat 2:31
[8] Qur’an Surat 3:190-191
[9] Qur’an Surat 41:53
[10] Qur’an Surat 34:13
[11] Qur’an Surat 27:40
[12] Qur’an Surat 28:78
[13] Qur’an Surat 28:38
[14] Qur’an Surat 20:88
[15] Qur’an Surat 89:6-14
[16] Hadits Riwayat Muslim no. 131
[17] Qur’an Surat 30:30
[18] Qur’an Surat 59:19

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *