Bagaimana Al-Qur’an Sampai kepada Kita (6)

Beralih ke masa abad kedua Hijriah dimana terjadi perumusan dan penulisan ilmu-ilmu syar`i. Pada masa Nabi saw, tidak ada penulisan ilmu dari beliau selain Al-Qur’an. Nabi saw berkata, “Jangan kalian tulis dariku sesuatu selain Al-Qur’an. Siapa yang menulis dariku sesuatu selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya.” Hanya sedikit, terbatas jumlahnya, dari para sahabat yang menulis selain Al-Qur’an, diantaranya `Abdullah bin `Amr bin `Ash ra. Itu dilakukan karena dikhawatirkan Al-Qur’an akan bercampur dengan tulisan-tulisan yang lain.

Pada masa perumusan di abad kedua Hijriah itu, muncullah para penulis yang memfokuskan diri membahas qiro’at qari’ tertentu yang ditulis oleh murid-murid sang qari’. Semua perawi yang mentransmisikan bacaan sama sekali tidak membuat-buat qiro’at Al-Qur’an. Tidak seperti klaim para orientalis yang mengatakan bahwa qiro’at adalah buatan para rawi. Bagaimana bisa muncul opini semacam itu?! Apakah jika (pembuatan bacaan) itu terjadi maka kaum muslimin akan mendiamkan saja?! Contoh kasus, jika kita shalat berjama`ah dan imam di hadapan kita membaca “الحمدَ لله رب العالمين” dengan fathah dal pada (الحمد) maka apa yang akan direspon oleh jama`ahnya? Semua akan merespon “الحمدُ , الحمدُ..” dan menunjukkan pengingkaran yang tegas terhadap kesalahan semacam itu meskipun hanya berupa kesalahan kecil berupa perubahan dari dhommah dal ke fathah. Itu yang akan kita lakukan, di masa kini, setelah ratusan tahun. Bayangkan apa yang akan dilakukan umat terdahulu jika kesalahan bacaan Al-Qur’an itu terjadi pada masa-masa awal dan terjadi di Makkah dan Madinah pula?!

Kemudian pada abad ketiga Hijriah, muncullah para penulis yang mengumpulkan dan membahas beberapa macam bacaan: Riwayat Warsy `an Nafi`, Riwayat Qalun `an Nafi`, riwayat fulan, riwayat fulan. Lalu muncul generasi berikutnya yang memiliki semangat yang tinggi dan mendatangi para syaikh, menjadi murid setia sang syaikh. Setelah selesai belajar dari syaikh yang satu, kemudian pergi ke syaikh yang lain dan belajar bacaan darinya. Setelah selesai membaca, kemudian pergi ke syaikh yang ketiga, keempat, kesepuluh, dan seterusnya. Akhirnya seusai itu, ia mengumpulkan semua ilmu bacaan yang diperolehnya ke dalam satu kitab. Muncullah disiplin ilmu qiro’at secara tertulis. Penting digarisbawahi, bahwa yang dimaksud adalah rumusan ilmu secara tertulis. Adapun praktek qiro’at secara lafaz telah ada sejak awal seperti yang telah dibahas sebelum ini. Tulisan-tulisan/buku-buku itu berisi pembahasan semisal: Warsy membaca (وَباِلآخِرَةِِ) dengan naql harakat hamzah ke lam sebelumnya dan dengan tarqiq ra’; fulan membaca (وَباِلآخِرَةِِ) dengan hamzah fathah dan setelahnya ra’ mufakhkham; fulan membaca (وَباِلآخِرَةِِ) dengan saktah pada lam sebelum hamzah; fulan membaca (وَباِلآخِرَةِِ) dengan imalah jika waqf. Semua itu kembali kepada cara-cara ketika ditalaqqi dari Rasulullah saw menurut perbedaan kabilah dan perbedaan lahjah.

Ada hal penting disini, apakah semua qiro’at yang diterima dari Rasulullah saw semuanya terkait dengan lahjah saja ataukah ada perkara lain? Sekitar 95% dari qiro’at Al-Qur’an berkaitan dengan perkara kebahasaan, contohnya: (يُؤْمِنُونَ) dan (يُومِِنُونَ); (مُوسَى) dengan fathah dan (مُوسَى) dengan imalah; serta contoh lain yang serupa dengan itu. Kira-kira 5% dari qiro’at berhubungan dengan makna (tidak ada kaitan dengan kabilah maupun lahjah). Dan tidak ada pertentangan makna, bahkan itu semua adalah i`jaz nash qur’ani. Misalnya pada firman Allah, “مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ” ayat itu juga dapat dibaca “مَـٰلِكِ يَوْمِ الدِّينِ” Masalah ini bukan tentang kabilah atau lahjah. Lafaz (المَلِك) -berarti raja- dan (المالك) -berarti pemilik- adalah dua hal yang berbeda. Dapat dikatakan bahwa (الإنسان مالكاً) -orang itu adalah pemilik- dan bukan (مَلِكاً) -raja-. Setiap kita adalah pemilik mobil, rumah, baju, uang, namun bukan raja. Dapat juga dikatakan bahwa (مَلِكاً) -orang itu adalah raja- dan bukan (مالك) -pemilik-. Apakah seorang raja memiliki rakyatnya, atau rumah-rumah, atau jalan-jalan? Seorang raja tidak memiliki, namun menguasai urusan pemerintahan. Maka kata (المَلِك) dibawa artinya kepada makna (الحاكم) -hakim-. Allah berkehendak untuk menyampaikan kemuliaan-Nya sebagai pemilik Hari Pembalasan dan juga sebagai hakim di Hari Pembalasan. Maka di Hari Kiamat tidak ada yang dapat mengaku memiliki sesuatupun, karena semuanya milik Allah; juga tidak ada yang dapat bertindak sebagai pemegang urusan, karena semua urusan ada pada Allah. Allah berfirman, “(Yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman): ‘Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?’ Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (Ghafir: 16) Allah juga berfirman, “Katakanlah: ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan..” (Ali `Imran: 26) Tidak difirmankan “ملِكَ الملك”; akan tetapi “مَـٰلِكَ الْمُلْكِ” Dan firman Allah “مَلِكِ النَّاسِ” (An-Nas: 2) tidak difirmankan “مَالكِ الناس” Seperti halnya ayat “مَـٰلِكَ الْمُلْكِ” menyampaikan bahwa Allah adalah pemilik (المالك); dan ayat “مَلِكِ النَّاسِ” menyampaikan bahwa Allah adalah raja (مَلِك) dalam arti hakim atau pemegang kekuasaan; ayat pada surat Al-Fatihah dalam nash yang sama dan pada saat yang sama menyampaikan bahwa Allah adalah raja sekaligus juga pemilik. Dengan dua macam qiro’at pada kalimat (مـلِكَ) bernilai seperti dua ayat yang satu sama lain maknanya saling menyempurnakan. Tidaklah ada pertentangan maupun konflik diantaranya. Hal ini termasuk dari sekian mukjizat pada nash Al-Qur’an.

Contoh lain pada firman Allah, “وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ” (Al-Baqarah: 10) Pada qiro’at yang lain untuk ayat yang sama dibaca “وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يُكَذِّبُونَ” Hal itu tidak ada hubungan dengan kabilah dan lahjah. Kata (يَكْذِبون) adalah fi`il mudhari` yang mana fi’il madhi-nya (كَذَبَ); sedangkan kata (كَذّبَ) adalah fi`il mudhari` yang mana fi`il madhi-nya (كَذّبَ). Kata (كَذَبَ) dengan takhfif berarti “jika berkata, ia berdusta.” Adapun kata (كذّب) dengan tasydid memiliki makna “ia berkata kepada orang lain: engkau dusta.” Yang satu maksudnya “berdusta”; yang satu lagi maksudnya “mendustakan.” Maka Allah memberitahu kita bahwa mereka adalah kaum yang berkata dusta sekaligus juga jika para rasul datang, mereka mendustakannya. Dengan demikian kedua qiro’at pada nash yang sama ini serupa dengan dua ayat masing-masing mengabarkan makna yang berbeda satu sama lain, akan tetapi tidak bertolak-belakang ataupun paradoks antara dua makna tersebut.

Perhatikan kembali bahwa jenis perbedaan cara membaca ini mungkin tidak melebihi 5% dari keseluruhan qiro’at Al-Qur’an. Adapun sebagian besar perkara qiro’at adalah yang berkaitan dengan dialek. Ada penentang-penentang Islam yang berpendapat bahwa qiro’at ini adalah buatan para qari’. Dengan ini kita bisa balik bertanya: Siapa yang membuat?! Bagaimana membuatnya?! Siapa yang akan membiarkan ada orang membuat-buat sesuatu tentang Al-Qur’an?!

Tugas membawa bacaan (qiro’at) Al-Qur’an secara lisan dari generasi ke generasi itu tetap ada hingga sekarang. Tugas itu diterima oleh qari’ mutakhashshishin. Tidak semua muslim berkewajiban untuk menguasainya. Jika ditanya, apakah kita semua ahli hadits? Apakah kita semua ahli fiqh? Begitu pula tidak semua dari kita adalah qari’. Akan tetapi menjadi fardhu kifayah bagi umat agar ada di antara mereka muhadditsin yang memperhatikan hadits Rasulullah saw karena dikhawatirkan terjadi perubahan atasnya. Juga menjadi fardhu kifayah bagi umat supaya ada di antara mereka qurra’ yang memperhatikan nash Al-Qur’an dengan segala perbedaan qiro’atnya. Mereka adalah bagian dari umat yang bangkit untuk menjaga bagian-bagian syari`at. Fuqoha menjaga bagiannya, ulama ushul menjaga bagiannya, da`i menjaga bagiannya, cendekiawan Islam menjaga bagiannya, ahli ekonomi Islam menjaga bagiannya, ahli politik Islam menjaga bagiannya, semuanya berintegrasi dalam menjaga syari`at dan menjaga ad-dien.

Dengan qiro’at Al-Qur’an ini -dengan rahmat Allah- hingga kini setelah 1400 tahun, masih ada di antara kita qurra’ mutqinun di Syam, di Mesir, di Turki, di Yaman, di Maroko, dan di sejumlah negara muslim. Yang mereka semua bertalaqqi Al-Qur’an dengan semua qiro’atnya dari para guru mereka dengan sanad yang bersambung hingga Rasulullah saw. Silsilah sanad para syaikh yang dikenal namanya, diketahui wafatnya, dan diketahui hidupnya. Dengan kualitas yang seandainya Imam Al-Bukhari melihatnya pasti beliau akan mengambil darinya. Adapun silsilah antara kita dengan Rasulullah saw yang terpendek (sanad `ali) pada zaman ini adalah 27 orang. Cukuplah bagi mereka bahwa Allah telah memilih mereka untuk menerima estafet kitab-Nya dari generasi ke generasi. Allah berfirman, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami” (Fathir: 32) Perhatikan kata “اصْطَفَيْنَا” (telah Kami pilih) Siapakah yang memilih? Allah-lah yang memilih. Dengan telinganya, para qari` itu telah mendengar (sima`an) Al-Qur’an dari gurunya ketika gurunya melafalkan. Kemudian juga melafalkan di hadapan gurunya (`ardhan) selagi telinga gurunya mendengarkannya. Begitu pulalah gurunya kepada gurunya, lalu kepada guru sebelumnya hingga para sahabat kepada Rasulullah saw. Mutawatir.

Maka angkatlah kepalamu, dan berbanggalah dengan kitab Rabb-mu yang bersandar di kedua tanganmu, yang sampai kepadamu dari Rasulullah saw secara lisan dan tulisan, dengan cara dokumentasi yang agung, yang dikenal dan dipuji oleh para cendekiawan di universitas, yang dibicarakan metodologinya serta objektivitasnya. Apa yang dilakukan oleh para salaf (pendahulu) kita adalah cara dokumentasi dengan derajat yang tinggi. Segala puji bagi Allah. Maka berbahagialah dengan hal ini dan bersyukurlah atas nikmat Allah dengan hadirnya Al-Qur’an di antara kita, shahih tanpa perubahan, komplit tanpa pengurangan. Tidak akan pernah didekati perubahan atau penyelewengan hingga Allah mengizinkannya dan hingga akhir zaman.

Disebutkan di sebagian atsar: Sesungguhnya akhir dari Al-Qur’an -karena sesungguhnya ia terjaga dari perubahan, dan tidak akan datang kiamat kecuali setelahnya-, manusia bangun di pagi hari dan ketika semua yang menghafal bagian dari Al-Qur’an telah melupakannya serta mushhaf hanyalah tersisa lembaran-lembaran kertas, dan Allah telah menelantarkan penduduk bumi karena banyakanya kerusakan pada zaman itu, seolah-olah Allah berkata, “Kalian tidak layak disapa karena kalian telah meninggalkan kalam-Ku maka pecahlah kemarahan-Ku” Dan setiap yang ada pada waktu itu adalah seburuk-buruk makhluq, mereka berkata, “Dahulu leluhur kami pernah berkata, ‘Allah, Allah’ kata yang kami dengar dari mereka, namun kami tidak menyadari dan tidak tau maknanya.” Maka pada kaum itulah terjadi kiamat.

Kita memohon ampunan Allah, dan berjanji untuk bersama-sama menerima kitab Rabb kita, serta membacanya dengan penuh perhatian, karena Allah menurunkannya untuk kita tadabburi. “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran.” (Shad: 29) Oleh karena itu, pertama: membacanya; kedua: mentadabburinya; ketiga: mengamalkannya. Membaca adalah satu langkah saja, kemudian tadabbur. Tidak cukup membaca tanpa tadabbur. Jika sudah membaca dan tadabbur serta memahami, itupun belum cukup. Harus mengamalkannya.

“أسأل الله عز وجل أن يبارك لنا في القرآن الكريم، وأن يُديم علينا هذه النعمة, وأن يُليِّن ألسنتنا بتلاوة القرآن, وأن يجعلنا وإياكم من أهل القرآن الذين هم أهله وخاصَّته, وأن يُطلِق ألسنتنا بتلاوة القرآن الكريم, وأن يجعلنا وإياكم عنده من المقبولين, إنه تعالى سميع قريب مجيب، والحمد لله رب العالمين.”

(selesai walillahil hamdu)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *