Ibadah yang Paling Utama

*Disalin dari pembahasan Ibnu Qayyim dalam Madarijus Salikin, yang dicantumkan oleh pen-tahqiq kitab Latha`iful Ma’arif, karya Ibnu Rajab Al-Hanbali

Ibadah yang paling utama adalah beramal berdasarkan keridhaan Allah pada setiap waktu sesuai dengan tuntutan dan posisinya ketika itu. Ibadah paling utama pada saat jihad adalah jihad itu sendiri, sekalipun harus meninggalkan beberapa wirid yang biasa dilakukan, shalat malam, puasa sunnah di siang hari, bahkan tidak melakukan shalat fardhu secara sempurna seperti yang dilakukan dalam keadaan aman.

Ibadah yang paling utama pada saat kedatangan tamu adalah memenuhi haknya dan meninggalkan wirid yang sunnah untuk menghormatinya. Demikian pula halnya dengan hak istri dan keluarga. Ibadah yang paling utama ketika penuntut ilmu membutuhkan bimbingan dan mengajari orang yang bodoh adalah kepedulian untuk mengajarinya dan menyibukkan diri dengannya. Ibadah yang paling utama saat dikumandangkan adzan adalah meninggalkan wirid yang sedang dilakukannya dan menyibukkan diri dengan menjawab seruan muadzin.

Ibadah yang paling utama pada waktu shalat lima waktu adalah bersungguh-sungguh dan tulus ketika melaksanakannya dengan cara yang paling sempurna, bersegera melaksanakannya pada awal waktu, dan keluar menuju masjid untuk berjamaah. Apabila jaraknya jauh dari rumah, maka hal tersebut akan lebih utama lagi. Ibadah yang paling utama pada waktu-waktu darurat, yang seseorang sangat membutuhkan bantuan jiwa atau raga adalah menyibukkan diri dengan membantu dan menolong kesedihannya, serta lebih mementingkan hal tersebut daripada wirid atau ibadah yang dilakukan dalam keadaan sunyi.

Ibadah yang paling utama pada saat membaca Al-Qur’an adalah menghimpun hati dan keinginan untuk menghayati dan memahami isinya hingga seolah-olah Allah Ta’ala berbicara kepadamu dengan perantaraannya. Upaya Anda dalam menghimpun hati untuk menghayati dan memahami Al-qur`an serta tekad untuk melaksanakan segala perintah Allah yang ada di dalamnya, merupakan hal yang lebih mulia daripada orang yang menghimpun hatinya untuk melaksanakan perintah dari seorang penguasa di dunia.

Ibadah yang paling utama pada waktu wuquf di Arafah adalah bersungguh-sungguh dalam merendahkan diri, berdzikir, dan berdo’a; bukan berpuasa yang dapat menghalangi diri untuk melakukan hal tersebut. Ibadah yang paling utama pada sepuluh hari di bulan Dzulhijah adalah memperbanyak ibadah, terutama takbir, tahlil, dan tahmid, yang merupakan amalan yang lebih utama daripada jihad yang bukan fardhu ‘ain. Ibadah yang paling utama di sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan adalah menetap di dalam masjid, menjauhi manusia, dan beri’tikaf, bukan berinteraksi dengan manusia dan menyibukkan diri di tengah-tengah mereka. Bahkan, menurut sebagian besar ulama, hal tersebut lebih utama daripada mempelajari ilmu dan membaca Al-Qur’an. Ibadah yang paling utama pada saat saudara sesama muslim mengalami sakit atau meninggal dunia adalah mengunjunginya, menghadiri jenazahnya, dan ikut mengantarnya.

Ibadah yang paling utama di kala musibah datang dan ketika ada seseorang yang menyakitimu adalah bersabar dengan tetap berinteraksi dengan mereka dan bukan menjauhi mereka.

Ibadah yang paling utama di setiap waktu dan keadaan adalah memprioritaskan keridhaan Allah Ta’ala, menyibukkan diri dengan kewajiban yang ada pada waktu tersebut, berdasarkan kedudukan dan konsekuensinya.

Rasa Malu yang Terpuji

*disadur dari kitab “Jami’ul ‘Ulum wal Hikam”, Ibnu Rajab Al-Hanbali.

Dari Abu Mas`ud Al-Badri Radhiyallahu `Anhu, yang berkata, Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda,

“Di antara sesuatu dari perkataan kenabian pertama yang diketahui manusia ialah, ‘Jika engkau tidak malu, silakan berbuat apasaja yang engkau inginkan’.” [Hadits Riwayat Bukhari]1

Petikan sabda Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam, “Di antara sesuatu dari perkataan kenabian pertama yang diketahui manusia,” mengisyaratkan bahwa perkataan tersebut diriwayatkan dari para Nabi terdahulu. Manusia saling menyebarkannya sesama mereka, dan mewariskannya dari satu generasi kepada generasi lainnya. Ini menunjukkan bahwa kenabian-kenabian terdahulu datang membawa perkataan tersebut dan perkataan tersebut dikenal luas oleh manusia hingga sampai pada masa umat Islam.

Hadits ini memiliki dua penafsiran makna:
Continue reading “Rasa Malu yang Terpuji”

Bagaimana Puasa Syawal

Puasa Syawal adalah salah satu sunnah yang sangat dianjurkan. Puasa ini dilakukan selama enam hari di bulan Syawal, boleh berturut-turut maupun tidak runtut, dengan niat puasa sunnah Syawal sebagaimana teknisnya puasa sunnah (boleh niat pada siang waktu dhuha).

Telah populer hadits tentang puasa Syawal:
“Siapa yang berpuasa penuh bulan Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, itu seperti berpuasa setahun.” [HR Muslim]

Hikmah puasa Syawal antara lain ianya sebagai penyempurna bagi puasa Ramadhan sebelumnya, menjaga jikalau ada kekurangan dalam pelaksanaannya, mengingat amal-amal sunnah akan berperan sebagai pelengkap keparipurnaan amal-amal fardhu. Puasa Syawal juga merupakan tanda syukur atas nikmat Ramadhan yang telah lalu, karena bentuk syukur yang paling utama adalah dengan melakukan keta`atan. Kemudian, salah satu ciri diterimanya kebaikan adalah dihasilkannya kebaikan-kebaikan lanjutannya, sehingga salah satu tanda diterimanya amal Ramadhan adalah bahwa amal Ramadhan itu menghasilkan amal lanjutan yang dalam hal ini adalah ibadah sunnah puasa Syawal. Dan yang terpenting, menggiatkan ibadah sunnah membuktikan kecintaan pada Rasul serta akan mendatangkan kecintaan dari Allah, yang merupakan karunia terbesar, yang mana siapa yang Allah cintai maka juga akan dicintai oleh manusia dan makhluq seisi dunia.

Bagaimana melakukan puasa sunnah Syawal sedangkan ada kasus terdapat beban puasa qadha atau puasa utang di Ramadhan, misalnya karena selama Ramadhan ada hari-hari dalam kondisi sakit, haid, dan uzur lain yang menyebabkan tidak berpuasa. Situasi ini dapat dijabarkan:

1. Segera melunasi utang puasa, kemudian baru melaksanakan puasa sunnah selama bulan Syawal. Madzhab yang masyhur sepakat dengan cara seperti ini. Hal ini dapat disanggupi jika utang puasa tidak banyak, sehingga sempat melakukan puasa ‘bayar utang’ lalu berpuasa enam hari dalam rentang bulan Syawal, dan tidak memberatkan diri. Juga bagi wanita yang apabila mempertimbangkan periode haid pada bulan Syawal maka masih bisa membayar utang puasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari sunnah Syawal.

2. Melakukan puasa enam hari Syawal, dan menangguhkan/menunda pelunasan utang puasa Ramadhan pada bulan lain. Madzhab Hanafi membolehkan cara ini, sedangkan Madzhab Maliki dan Syafi`i memakruhkan, sementara Madzhab Hambali melarang. Biasanya ini direncanakan bila memiliki beban puasa qadha yang banyak dan untuk meng-qadha di bulan Syawal membuat tidak sempat berpuasa sunnah Syawal karena bulan Syawal akan keburu habis. Atau sebenarnya sempat, tapi akan memberatkan diri (contoh, harus puasa berturut-turut, bahkan sebulan Syawal penuh, untuk bisa membayar qadha puasa lalu berpuasa sunnah). Atau bagi wanita, periode haid bulanan membuatnya tidak bisa meng-qadha puasa Ramadhan lalu berpuasa enam hari sunnah Syawal (mungkin hanya sempat 3 hari sunnah Syawal, misalnya).

3. Menggabungkan niat, ketika berpuasa di bulan Syawal, dalam sekali puasa satu hari itu sekaligus diniatkan untuk meng-qadha dan juga sebagai puasa Syawal. Cara ini juga beralasan seperti poin nomor 2 diatas. Tetapi yang seperti ini hanya diajukan oleh segelintir pendapat yang tidak diterima luas. Karena bermasalah dalam menggabungkan niat ibadah wajib (qadha puasa Ramadhan) dengan niat ibadah sunnah (puasa Syawal).

4. Melaksanakan qadha puasa Ramadhan, kemudian menyambung dengan puasa sunnah selama bulan Syawal, dan apabila sampai bulan Syawal habis baru memperoleh sebagian sunnah Syawal, lalu melanjutkan puasa sunnah Syawal di bulan setelahnya (Dzulqa`idah). Misalnya di bulan Syawal, setelah meng-qadha puasa Ramadhan, kemudian hanya sempat puasa sunnah Syawal 3 hari, lalu pada bulan Dzulqa`idah berpuasa sunnah 3 hari dengan niat ‘qadha’ puasa Syawal (supaya genap mendapat 6 hari puasa sunnah Syawal). Pendapat ini juga bukan merupakan pendapat jumhur (kebanyakan) ulama.

Dengan demikian cara yang pertama adalah baik. Hendaknya yang wajib (qadha puasa Ramadhan) didahulukan ketimbang yang sunnah (puasa Syawal). Dalam pada itu, kalangan ulama Hanabilah berargumen, berdasarkan hadits keutamaan puasa Syawal, “Siapa yang berpuasa penuh bulan Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, itu seperti berpuasa setahun.” maka keutamaan “seperti berpuasa setahun” itu tidak akan diperoleh jika puasa Ramadhan-nya tidak penuh. Bagi yang memiliki utang puasa Ramadhan, berarti puasa Ramadhan-nya belum penuh, sehingga ‘percuma’ jika mendahulukan puasa sunnah Syawal sebelum menyempurnakan utang Ramadhan, tidak memenuhi syarat untuk memperoleh keutamaan dalam hadits.

Lalu bagaimana jika situasinya seperti yang kedua, memiliki utang puasa yang jika meng-qadha terlebih dahulu kemudian baru berpuasa sunnah selama bulan Syawal tidak akan sempat, karena banyak yang harus di-qadha, atau mengingat periode haid, atau uzur lainnya. Dapatkah keutamaannya jika hanya bisa berpuasa sunnah Syawal 3 hari (misalnya) sebelum habis bulan (masuk bulan Dzulqa`idah). Sesungguhnya Allah Mahatahu dan Mahabijaksana. Bukankah niat kebaikan itu sudah dinilai pahalanya meskipun tidak terlaksana akibat adanya halangan? Bukankah amal seseorang ketika ada uzur (safar atau sakit) akan digenapkan sebagaimana halnya amal orang tersebut ketika tidak ada uzur? Yang penting adalah kesungguhan niat dan optimasi ikhtiar. Boleh jadi, seorang wanita yang tidak bisa menyempurnakan puasa sunnah 6 hari Syawal karena terlebih dahulu meng-qadha puasa Ramadhan kemudian ditengah ia melaksanakan puasa sunnah Syawal datang hambatan haid, memperoleh keutamaan yang lebih dari seorang lelaki yang bisa berpuasa penuh Ramadhan juga lengkap berpuasa sunnah Syawal. Karena wanita ini memiliki ketulusan/keikhlasan azzam dan kekuatan ikhtiar yang lebih daripada lelaki itu. Demikian pula berlaku sebaliknya.

Mahasuci Allah, tidak ada ilmu pada kita selain dari apa yang Dia ajarkan.
Allahu wa Rasuluhu a`lam.

Pergi Semobil Berdua – Khalwat

Kemarin malam saya bersama dua teman datang ke satu komplek perumahan untuk mengisi tarawih dan ceramah disana. Ketika sampai, belum masuk waktu Isya’, jadi kami duduk-duduk di teras sambil menunggu. Waktu itu ada sebuah mobil datang (di dalam hanya ada pengemudinya, lelaki) lalu seorang wanita keluar dari sebuah rumah, masuk mobil, dan pergi berdua.

Seorang teman bilang, “Eh, bukannya tarawih malah pacaran.”
Teman yang lain menjawab, “Husnuzhon aja, barangkali mereka mau tarawih di masjid lain, itu lelakinya jemput si perempuan.”
Saya berpendapat, “Loh, kalau mereka bukan mahram, itu kan khalwat di mobil jadinya.”

Apapun itu, wAllohu a`lam, mungkin tujuannya baik, mau mengantar tarawih (perhaps), ya tapi tetep aja masuk ke larangan khalwat. Niat baik tidak bisa membenarkan perbuatan yang caranya salah. Malah satu (yang nyopir) dapet keburukan (di sisi Allah), yang lain (yang numpang) juga dapet keburukan. Hal yang dianggap baik, sebenarnya dimurkai Allah. Maksudnya menolong, tapi justru menjerumuskan.

Khalwat (makani) artinya berdua di satu tempat dimana tidak ada orang lain. Dalam hal ini, mobil dinilai sama dengan tempat, walaupun si pria (atau wanita) sedang mengemudikan mobil. Ini kebanyakan tidak disadari, padahal juga termasuk menghadapi larangan:

“Janganlah salah seorang lelaki diantara kamu berkhalwat dengan perempuan
kecuali dengan mahramnya.” (HR Bukhari – Muslim)

Ungkapan itu berbentuk umum, tanpa pengecualian, mau itu bisa menjaga pandangan kek, ataukah tanpa disertai syahwat, sama saja. Pelarangannya tetap berlaku sebagaimana juga hukum haramnya. Khalwat juga tetap haram hukumnya walaupun bersama orang yang dipercaya, baik, dan sholeh sekalipun. Khalwat bertentangan dengan syari`at meski dengan dalih silaturrahim. Meremehkan khalwat berarti menyepelekan syari`at.

Bagaimana jika ada kebutuhan (hajat) atau terpaksa (darurat)? Misal masjidnya itu jauh, si perempuan tidak tau jalan, tidak ada teman wanita lain/mahram, dan kalau sendirian dikhawatirkan keamanannya.

Kaidahnya, darurat itu kan diukur kondisinya, dan jangan dibuat-buat. Kalau situasinya darurat, harus mengantar, ajaklah orang ketiga, atau gunakan transportasi umum di tempat khalayak, dengan tetap menjaga adab interaksi pria-wanita tentunya. Repot tapi ‘selamat’ jelas dipilih daripada praktis tapi berdosa. Rasulullah pernah didatangi seorang wanita yang ingin berbicara tentang suatu masalah, kemudian Beliau menyuruh wanita itu mencari dan menunggu di jalan ramai yang banyak orang, lalu Beliau dan wanita itu bertemu disana.

Bagaimana jika kadarnya benar-benar darurat, tidak ada teman lain, tidak ada transportasi umum, tidak ada waktu alternatif? Sekali lagi, jangan dibuat-buat. Lihat sisi hukum syar`i-nya. Dalam kasus tersebut, tarawih itu sunnah, sedangkan khalwat itu haram. Tidak boleh mencari yang sunnah dengan melanggar yang haram. Menolak mafsadat didahulukan ketimbang mencari manfaat.

Bagaimana jika bertiga?

1. Orang ketiganya mahram. Artinya, kalau orang ketiganya itu wanita, dia merupakan mahram atau istri dari lelaki yg disana. Jika orang ketiganya itu lelaki, ia merupakan mahram atau suami dari wanita yang disana. Untuk kasus ini semua sepakat menghilangkan status dan larangan khalwat.

2. Orang ketiganya bukan mahram. Artinya, orang ketiga itu juga tergolong orang ajnabi/asing, yang tidak ada hubungan mahram dengan salah satu dari pria atau wanita (walaupun dia teman). Untuk kasus ini, pendapat kalangan Syafi`iyyah tetap melarangnya.

3. Orang ketiganya bukan mahram, tetapi merupakan orang tsiqah/terpercaya baik dari segi kebaikan agamanya maupun sisi kebaikan hubungan kerabat (tapi bukan mahram) atau silaturrahim/persahabatan dengan salah satu atau kedua pihak. Untuk kasus ini, pendapat sebagian kalangan Syafi`iyyah membolehkannya.

4. Adanya orang ketiga menjadikannya boleh. Ini pendapat Hanafiyyah.

Nastaghfirullah,
Allahu wa Rasuluhu a`lam.

amanah dan kesibukan yang menjaga kita

“Sesungguhnya Allah jika menghendaki membinasakan seorang hamba, maka Dia mencabut dari orang itu rasa malu.

Jika telah tercabut darinya rasa malu, engkau tidak menjumpai orang itu kecuali bergelimang dosa.

Jika engkau tidak menjumpai kecuali bergelimang dosa, dicabut (pula) dari dirinya AMANAH. Apabila telah DICABUT DARINYA AMANAH, engkau tidak menjumpainya kecuali sebagai orang yang berkhianat dan dikhianati.

Jika engkau tidak menjumpainya kecuali dalam keadaan berkhianat dan dikhianati, maka dicabut darinya rahmat (Allah). Apabila telah dicabut darinya rahmat (Allah), engkau tidak menjumpainya kecuali dalam keadaan terkutuk dan terlaknat. Jika engkau tidak menjumpainya kecuali dalam keadaan terkutuk dan terlaknat, maka dicabut darinya ikatan dengan Islam?. (HR. Ibnu Majah) ”

nah, sesungguhnya amanah, kerjaan, kesibukan, tanggung jawab atau apapun yg sejenis adalah upaya Allah untuk memberikan hikmah dan kebaikan, maka…

berbahagialah bagi mereka yg selalu disibukkan dengan tanggung jawab, karena dengannya ia akan tumbbuh, menjadi besar, menjadi lebih baik, dan dengannya ia akan terjaga.

dan hati-hatilah bagi mereka yg berleha-leha, santai, dan menghabiskan waktu luang dengan sesuatu yg ga ada manfaat. jangan2 termasuk golongan yg DICABUT AMANAHNYA.

Nasihat Seniora

Bismillah,
Islam adalah metode menjalani kehidupan untuk hidup abadi dalam kemuliaan, yang sudah dikembangkan sejak lahirnya manusia pertama, dikemas dalam kitab al qur’anul karim dan dihidupkan buat kita di zaman rasulullah dengan segala problematika dan success story-nya.
Mari bukalah alqur’an pelajari dan nikmati isinya dalam degup kehidupan kita. Semoga kita mampu meraih bahagia dalam kehidupan abadi. (29 April 2010)

5 kebaikan 5 Jalan

Mendapatkan 5 hal melalui 5 jalan;

1. Berkah rezeki akan diperoleh melalui shalat dhuha.

2. Cahaya dalam kubur, melalui sholat tahajud

3. Kemudahan dalam menjawab pertanyaan Mungkar dan Nakir, melalui membaca Al Qur’an.

4. Kemudahan melintasi shiraatal mustaqiim, melalui puasa dan sedekah.

5. Mendapat perlindungan Arsy Ilahi pada hari hisab, melalui dzikrullaah (zikir)

Mari qta amalkan.

(sebuah nasihat seorang sahabat dari tadabbur, insyaallah) Wallaahua’lam.

Cukuplah Dirimu Dengan 3 Hal

1. Sesungguhnya diantara sekian banyak kenikmatan dunia, cukuplah islam sebagai nikmatmu.

2. Diantara sekian banyak kesibukan, cukuplah ketaatan kepada Allah sebagai kesibukan bagimu.

3. Di antara sekian banyak pelajaran, cukuplah kematian sebagai pelajaran bagimu.

-Ali bin Abi Thalib ra.-

6 HAK SEORANG MUSLIM DARI MUSLIM LAINNYA

Islam datang untuk mempersatukan hati dengan hati, menyusun barisan dengan tujuan menegakkan bangunan yang tunggal dan menghindari faktor-faktor yang dapat menimbulkan perpecahan, kelemahan, sebab-sebab kegagalan dan kekalahan. Sehingga mereka yang bersatu itu memiliki kemampuan untuk merealisasi tujuan luhur dan niat sucinya.

1. Apabila engkau menjumpainya engkau berikan salam kepadanya.
2. Apabila ia mengundangmu engkau memperkenankan undangannya.
3. Apabila ia meminta nasehat, engkau menasehatinya.
4. Apabila ia bersin dan memuji Allah, hendaklah engkau mentasymitkannya (berdoa untuknya).
5. Apabila ia sakit hendaklah engkau menjenguknya.
6. Apabila ia mati hendaklah engkau antarkan jenazahnya.
(HR.Muslim dan Tirmizi).

Mengucapkan Salam
Islam datang untuk mempersatukan hati dengan hati, menyusun barisan dengan tujuan menegakkan bangunan yang tunggal dan menghindari factor-faktor yang dapat menimbulkan perpecahan, kelemahan, sebab-sebab kegagalan dan kekalahan. Sehingga mereka yang bersatu itu memiliki kemampuan untuk merealisasi tujuan luhur dan niat sucinya . Oleh karena itu awal pertemuan dengan sesama muslim agar hati mereka terikat satu dengan yang lainnya hingga timbulnya rasa saling menyinta dimulai dengan mengucapkan dan menyebarkan salam : Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

Sabda Rasulullah SAW:
“Demi Dzat yang diriku dalam genggamanNya, mereka tidak masuk surga sehingga mereka beriman, dan mereka tidak beriman sehingga mereka saling menyinta. Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang jika kamu mengerjakannya kamu saling menyinta? Sebarkan salam di kalangan kamu.”

Salam yang merupakan alat penghormatan kaum muslimin lebih menegaskan bahwa agama mereka adalah agama damai dan aman, serta mereka adalah penganut salam (perdamaian) dan pencinta damai. Dalam hadis Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah menjadikan salam sebagai penghormatan bagi umat kami dan jaminan keamanan untuk kaum zimmah kami.”

Dan seseorang tidak layak memulai pembicaraan kepada sesamanya sebelum ia memulainya dengan ucapan salam, karena salam adalah ungkapan rasa aman dan tidak ada pembicaraan sebelum adanya rasa aman.

Rasulullah SAW bersabda, “Ucapkan salam sebelum memulai berbicara.”

Memenuhi Undangan
Seorang muslim yang mengundang saudaranya, maka ia berhak didatangi, oleh karena itu kewajiban yang diundang adalah mendatangi undangan tersebut sebagai mana sabda Rasulullah SAW,  “Penuhilah undangan ini jika kamu diundang.”

Undangan yang diberikan dari sesama muslim menunjukkan penghormatan dan perhatian yang besar kepada saudaranya yang diundang tersebut sehingga bagi yang tidak memenuhi undangan tentu saja menyebabkan kekecewaan. Mengabaikan undangan disamakan dengan pembangkangan kepada Allah dan Rasul, begitu juga sebaliknya saat seseorang yang datang tanpa diundang diumpamakan seperti pencuri, karena kedatangannya tidak diinginkan oleh yang mengundang seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud : “Barangsiapa diundang kemudian dia tidak memenuhi undangan tersebut, maka ia telah membangkang pada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa masuk tanpa diundang, maka ia masuk sebagai pencuri.”

Memberi Nasehat
Memberi nasehat kepada sudara muslim yang memintanya hendaklah dipenuhi. Karena nasehat ini dapat mendorong saudaranya kearah kebaikan. Nasehat yang tulus akan berbekas dan berpengaruh sehingga dapat masuk kedalam relung hati yang terbuka untuk menerimanya. Bagi yang menasehati saudaranya, hendaknya ia mengerjakan apa yang diucapkan, mengamalkan apa yang dinasehatkan, sebab nasehat yang tidak diamalkan dan tidak dijiwai tidak akan berbekas pada jiwa yang dinasehati. Dan sesungguhnya agama ini adalah nasehat sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Agama itu nasehat”, Kami bertanya kepada beliau, “Nasehat kepada siapa ?” Beliau menjawab : “Terhadap Allah, Quran, RasulNya, pemimpin-pemimpin dan seluruh kaum Muslimin””.

Mendoakannya ketika bersin
Mendoakan saudara yang bersin merupakan wujud perhatian dan kasih sayang terhadap saudaranya, sebab tatkala saudaranya itu bersin dan mengucapkan pujian kepada penciptanya : “Alhamdulillah”, serta merta ia yang mendengarkannya menanggapi dengan mengucapkan “Yarhamukallah” (Semoga Allah memberimu Rahmat), ia merupakan ucapan simpati dan doa atas kondisi saudaranya yang senantiasa memuji Allah dalam setiap keadaan khususnya saat ia bersin. Maka mendoakan dengan Rahmat layak diberikan pada saudaranya yang telah memuji Allah tersebut. Saat mendapatkan doa Rahmat, maka saudaranya itu hendaknya juga membalas doa bagi yang telah mendoakannya dengan mengucapkan, “Yahdini wayahdikumullah wa yuslih balakum” (Semoga Allah memberiku dan engkau petunjuk dan semoga Allah memperbaiki keadaanmu).

Doa tersebut cerminan telah terjalinnya ikatan hati antara sesama muslim yang senantiasa menghendaki kebaikan bagi saudaranya.

Menjenguknya ketika sakit
Merupakan kewajiban umat Islam untuk mengunjungi saudaranya yang sakit. Hal ini dapat meringankan beban derita sisakit yang merana sendirian dan merasa terasing. Kedatangannya hendaknya dapat meringankan beban sisakit dan dapat menghiburnya.

Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat : ‘Wahai bani Adam, Aku sakit dan kamu tidak menjengukKu.’ Ia berkata : ‘Wahai Rabbku, bagaimana bisa aku menjengukMu sedang Engkau adalah Tuhan sekalian Alam’, Allah menjawab ‘Tidakkah kamu mengetahui bahwa seorang hambaKu fulan sakit dan kamu tidak menjenguknya? Tidakkah kamu mengetahui bahwa andaikata kamu menjenguknya, kamu mendapatiKu di sisinya”  (HR.Muslim).

Rasulullah saw memberikan motivasi kepada umatnya agar menjenguk orang sakit dengan menempatkannya di antara buah-buahan surga, sabda Rasulullah saw:
“Sesungguhnya seorang muslim apabila menjenguk saudaranya sesama muslim, maka ia tetap berada di antara buah-buahan surga yang siap dipetik, sampai akhirnya ia kembali.” (HR.Muslim).

Sangat indah sekali ajaran Islam, setiap kebaikan yang dilakukan untuk orang lain tidak luput balasannya di sisi Allah SWT.

Mengiringi jenazahnya
Persaudaraan sejati tidak sebatas pada alam dunia saja, saat ajal menjemput, saudaranya ikut berta’ziyah dan mengiringi jenazahnya dan menyaksikan jasad saudaranya dimasukkan kedalam liang lahat, iringan terakhir di dunia dan kelak akan berjumpa di surganya Insya Allah.

Allah SWT bahkan akan memberikan pakaian kehormatan bagi mu’min yang berta’ziyah kepada saudaranya sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Amr bin Haram : “Tiadalah di antara mu’min berta’ziyah kepada saudaranya yang mendapat musibah, kecuali Allah mengenakan pakaian kehormatan pada hari kiamat.”

Doa Iftitah Sholat Malam dan Penegakkan Hukum Allah

alam sebuah hadits shohih riwayat Imam Muslim terdapat sebuah tanya jawab antara seorang sahabat bernama Abu Salamah ibnu Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ’anhu dengan istri Nabi Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ’anha. Sahabat ini menanyakan soal bacaan doa yang biasa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ucapkan bila membuka sholat malam alias sholat tahajjud. Artinya beliau ingin tahu doa iftitah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ketika mengawali sholat malam. Maka Aisyah radhiyallahu ’anha menjelaskan dengan lengkap. Ternyata jika kita renungkan isinya maka tampak betapa banyak pelajaran dan mutiara hikmah yang bisa kita petik darinya. Adapun lengkap haditsnya adalah sebagai berikut.

iftitah_qiyamullail

Berkata Abu Salamah ibnu Abdurrahman bin Auf: “Aku bertanya kepada Ummul Mu’minin Aisyah: Dengan doa apakah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam membuka sholatnya bila ia bangun malam?” Aisyah menjawab: “Bila Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bangun malam beliau membuka sholatnya dengan: Allahumma Rabba Jibriila wa Mikaaiila wa Iraafiila Faathiros-samawaati wal ardhi ‘aalimal-ghaibi wasy-syahaadati anta tahkumu baina ‘ibaadika fiima kaanuu fiihi yakhtalifuuna ihdinii limakhtulifa fiihi minal-haqqi bi-idznika innaka tahdii man tasyaa-u ilaa shiraatim-mustaqiim (“Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui hal-hal yang ghaib dan nyata. Engkau yang menghukumi (memutuskan) di antara hamba-hambaMu dalam perkara yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah aku, dengan seizinMu, pada kebenaran dalam perkara yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Engkau menunjukkan jalan yang lurus bagi orang-orang yang Engkau kehendaki.”) (HR Muslim 1289)

Pertama, doa ini diawali dengan menyeru Allah dengan beberapa atribut muliaNya. Mula-mula si hamba menyebut Allah sebagai Rabb dari tiga malaikat mulia yang masing-masing mempunyai tugas-tugas tertentu yang luar biasa. Yaitu malaikat Jibril yang merupakan panglima alias pimpinan segenap malaikat lainnya. Di samping itu malaikat Jibril juga bertugas mengantarkan wahyu kepada para Rasul Allah. Subhaanallah…! Jadi, kita seolah diingatkan bahwa Allah yang kita seru di tengah malam itu ialah Rabb dari malaikat yang telah mengantarkan wahyu Kitabullah Zabur kepada Nabiyullah Daud ’alihis-salaam, Kitabullah Taurat kepada Nabiyullah Musa ’alihis-salaam, Kitabullah Injil kepada Nabiyullah Isa ’alihis-salaam serta Kitabullah Al-Quran Al-Karim kepada Nabi kita Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam.

اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ

“Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail dan Israfil…”

Kemudian kita menyeru Allah yang merupakan Rabb malaikat Mikail, yaitu malaikat yang bertugas mengantarkan rizki setiap makhluk ciptaan Allah. Setiap manusia memperoleh rizki, maka malaikat inilah yang bertugas mengantarkan dan memastikan ia sampai kepada manusia tersebut. Bahkan hingga rizki segenap hewan dan tumbuh-tumbuhan…. Semua memperoleh rizkinya berkat izin Allah semata via kurir istimewa malaikat Mikail ini. Subhaanallah…! Jadi, melalui potongan doa ini kita seolah diingatkan bahwa Allah yang kita jadikan tempat mengeluh di tengah malam itu ialah Rabb Pemberi Rizki yang Maha Murah dan bahwa Allah mempunyai malaikat yang bertugas sebagai aparat penyalur rizki yang tidak pernah sesaatpun lalai ataupun malas menjalankan tugasnya…!

Selanjutnya kita memanggil Allah yang merupakan Rabb dari malaikat Israfil, yaitu malaikat yang bertugas meniup sangkakala pada saatnya sebanyak dua kali. Tiupan pertama pertanda dimulainya peristiwa dahsyat hari Kiamat. Selanjutnya begitu Kiamat tegak maka tidak ada satupun makhluk yang akan dibiarkan Allah masih bernyawa selain malaikat Maut pancabut nyawa. Hingga Allah akan mencabut nyawa malaikat Maut itu dengan tanganNya sendiri. Wallahu’a’lam. Selanjutanya malaikat Israfil akan meniup sangkakala kedua kalinya sebagai pertanda dihidupkan dan dibangkitakannya kembali segenap makhluk dari kuburnya.

وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ

إِلَّا مَنْ شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنْظُرُونَ

”Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).” (QS Az-Zumar ayat 68)

Jadi, melalui potongan doa ini kita diingatkan akan Allah sebagai Yang Maha Tahu dan Maha Kuasa menetapkan bila akan terjadinya peristiwa dahsyat hari Kiamat. Hari dimana manusia tidak akan sanggup membayangkannya. Hari dimana Allah akan hancurkan segenap alam semesta yang diciptakan dengan tanganNya sendiri atas Kehendaknya sendiri. Kemudian Allah izinkan malaikat Israfil untuk meniup sangkakala sebagai pertanda diawalinya peristiwa dahsyat tersebut. Untuk selanjutnya meniup sangkakala sekali lagi pertanda tegaknya hari berbangkit dimana setiap manusia akan berdiri satu per satu menunggu giliran dirinya diperiksa dan diadili oleh Allah Yang Maha Perkasa, Maha Adil lagi Maha Bijaksana.

Kedua, selanjutnya kita menyeru Allah dalam kaitan sebagai Pencipta langit dan bumi. Artinya, melalui potongan doa ini kita diingatkan betapa kecil dan tidak berdayanya diri ini di hadapan Allah Yang Maha Agung yang telah menciptakan segenap lapisan langit dan bumi beserta segenap isinya. Subhaanallah…! Hal ini diharapkan akan menumbuhkan rasa tunduk dan berserah diri dalam hati menghadapi Allah Dzat yang Maha Kuasa satu-satunya fihak tempat kita menghamba, mengabdi, bergantung dan memohon pertolongan.

فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

.” Wahai Pencipta langit dan bumi.”

Ketiga, kemudian kita menyeru Allah Yang Maha Tahu perkara ghaib maupun nyata dalam kehidupan ini. Artinya, potongan doa ini menumbuhkan dalam diri bahwa fihak yang kita seru di tengah malam adalah Rabb Yang tidak saja mengetahui segenap perkara yang tampak dan bisa diindera, melainkan juga mengetahui segenap perkara tidak tampak bahkan di luar jangkauan panca indera manusia. Allah ialah Dzat Yang Maha Tahu apa yang sudah, sedang dan akan terjadi dengan segenap rincian kejadiannya. Allah ialah Dzat Yang Maha Tahu segenap perkara baik dalam dimensi yang terjangkau oleh fikiran manusia maupun tidak. Allah ialah Dzat Yang Maha Tahu segenap peristiwa yang dialami makhluk kasar manusia maupun makhluk halus, baik jin maupun malaikat. MasyaAllah…!

عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ

”Wahai Rabb yang mengetahui hal-hal yang ghaib dan nyata.”

Keempat, kemudian kita bersaksi bahwa Allah merupakan Hakim yang Maha Bijaksana, Maha Adil lagi Maha Baik. Allah memutuskan dengan keputusan terbaik dalam berbagai perkara yang diperselisihkan oleh hamba-hambaNya. Dan kita kaitkan dengan realitas dunia dimana kita saksikan dewasa ini begitu banyak perbedaan pendapat dan perselisihan antara manusia. Baik itu dalam urusan pribadi, perdagangan, politik, sosial, budaya, seni, pendidikan, hukum, militer, antar negara dan lain-lain. Melalui potongan doa ini, kita diingatkan bahwa sebaik-baiknya penyelesaian menghadapi segala perbedaan pendapat dan perselisihan antar sesama manusia ialah dengan mengembalikannya kepada Allah, Wahyu Allah, Kitabullah dan hukum Allah.

أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

”Engkau yang menghukumi (memutuskan) di antara hamba-hambaMu dalam perkara yang mereka perselisihkan.”

Pada hakikatnya kekacauan yang timbul dewasa ini merupakan konsekuensi logis dari kesombongan manusia yang menyangka bisa menghasilkan kebijakan yang adil bagi segenap manusia padahal mereka menyelesaikannya dengan fikiran dan hukum bikinan manusia. Mereka enggan untuk mengembalikan segenap urusan hidup dan perbedaan pendapat kepada Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana. Sampai kapan manusia akan terus berlaku sombong dengan meninggalkan hukum berdasarkan petunjuk dan wahyu Allah Subhaanahu Wa Ta’aala? Sampai kapan manusia akhirnya akan menyadari bahwa segenap fikiran mereka disatupadukan tidak akan pernah bisa menghasilkan hukum yang adil-bijaksana bagi manusia lainnya? Hanya dengan mengakui bahwa Allah-lah satu-satunya fihak Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana ummat manusia akan menjalani kehidupan yang penuh keadilan hakiki di dunia yang fana ini. Wallahua’lam…!

Kelima, lalu barulah kita mengajukan permohonan dengan rendah diri dan rendah hati di hadapan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Suci. Kita nyatakan ketergantungan kita akan petunjukNya untuk memberikan keputusan yang benar di tengah perselisihan pendapat yang merebak di antara umat manusia. Dan kita tegaskan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya fihak yang menunjuki manusia ke jalan yang lurus. Tidak ada manuisa manapun, sebesar apapun kekuasaan dan pengaruhnya di muka bumi ini, yang dapat mengantarkan dan menunjuki manusia lain ke jalan yang lurus dan terjamin mengantarkan kita ke surga tempat kebahagiaan sejati dan abadi.

اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

”Tunjukkanlah aku, dengan seizinMu, pada kebenaran dalam perkara yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Engkau menunjukkan jalan yang lurus bagi orang-orang yang Engkau kehendaki.”

Lalu dengan tetap menyerahkan keputusan akhir kepada Allah, kita nyatakan dengan jujur bahwa pada akhirnya Allah saja yang berhak menentukan siapa di antara hamba-hambanya yang berhak mendapat petunjukNya. Namun tentunya kita berharap kepada Allah bahwa diri kita termasuk mereka yang dipilihNya untuk memperoleh petunjukNya di tengah kesemrawutan perselisihan di antara umat manusia.

Oleh karenanya, sebagai bukti bahwa doa yang kita baca bukan sekedar pemanis di bibir sekedar untuk ”menyenangkan” Allah belaka, maka dalam realitas selanjutnya kita berusaha sekuat tenaga merujuk kepada ketentuan-ketentuan Allah melalui kitabNya, Al-Qur’an dan tuntunan RasulNya, hadits-hadits shohih dari Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam dalam menyelesaikan berbagai urusan hidup di dunia. Sebab kita sangat khawatir bahwa jika segenap masalah –baik kecil apalagi besar- tidak kita selesaikan berdasarkan apa yang Allah telah wahyukan, maka ancaman Allah sangat kita takuti. Kita sangat khawatir bahwa sikap meninggalkan hukumNya adalah sikap dusta dalam mengakui Allah sebagai Hakim yang Maha Bijaksana, Maha Adil lagi Maha Baik.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

”Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al-Maidah ayat 44)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

”Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Maidah ayat 45)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

”Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah ayat 47)

Ketiga ayat di atas merupakan ancaman bagi setiap orang yang tidak menjalankan penyelesaian perkara dengan kembali kepada Hukum Allah. Bayangkan, ancamannya sampai tiga macam label yang mengerikan..! Manusia yang memutuskan perkara tidak menurut apa yang diturunkan Allah, berarti ia dipandang Allah sebagai kafir, zalim dan fasik…! Lalu dalam ayat lainnya bahkan dengan tegas Allah hanya menawarkan dua pilihan bagi suatu masyarakat dalam kaitan dengan urusan hukum. Atau masyarakat itu mengembalikannya kepada hukum Allah dan bila tidak mau, maka masyarakat itu dipandang Allah sebagai masyarakat yang memilih hukum Jahiliyah.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah ayat 50)

Ya Allah, tunjukkanlah pada kami bahwa yang benar itu memang benar adanya dan berilah kami kekuatan untuk mematuhinya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu memang batil dan berilah kami kekuatan untuk meninggalkannya. Amin ya Rabb.

–Ihsan Tandjung–