Bagaimana Al-Qur’an Sampai kepada Kita (1)

*Disarikan dari kuliah Dr. Ayman Rusydi Suwaid di European Institute of Islamic Sciences

Allah mengutus Muhammad saw sebagai nabi umat manusia pada lebih kurang empat belas abad yang lalu beserta turunnya sebuah kitab penutup, yaitu Al-Qur’an. Dan kitab tersebut telah sampai kepada kita tanpa pengurangan sedikitpun. Itulah akidah kita. Namun, apakah keyakinan kita itu memiliki landasan? Sebatas persangkaan dan fanatisme tanpa dalil? Ataukah keyakinan itu berasaskan pemahaman akan kebenaran yang jelas?
Continue reading “Bagaimana Al-Qur’an Sampai kepada Kita (1)”

Al-Qur’an: Lihat, Dengar, dan Rasakan

*Disadur dari artikel laman: http://www.islamedia.web.id/2011/10/inilah-manfaat-ilmiah-membaca-al-quran.html dengan beberapa pengubahan dan tambahan referensi.

“Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang kuat ingatan atau hafalannya. Di antaranya, menyedikitkan makan, membiasakan melaksanakan ibadah salat malam, dan membaca Al-Qur’an sambil melihat kepada mushaf.” Selanjutnya Syaikh Az-Zarnuji menulis, “Tak ada lagi bacaan yang dapat meningkatkan terhadap daya ingat dan memberikan ketenangan kepada seseorang kecuali membaca Al-Qur’an.” [1]

Continue reading “Al-Qur’an: Lihat, Dengar, dan Rasakan”

Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah (5)

Tarbiyah Syakhsiyah 5 – Langkah-Langkah Menjadi Ahlul Qur’an
*diringkas dari buku “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah : 16 Langkah Membangun Kepribadian Qur’ani” karya Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf, Al-Hafidz, Lc.

Agar cakrawala hidup di bawah naungan Al-Qur’an terbuka dengan luas dalam diri kita, maka persiapan yang paling utama adalah mempersiapkan kebersihan hati dari segala yang mengotorinya, seperti kotoran syirik, maksiat dan akhlak yang tercela, seperti dengki dan iri hati. “Andaikan hati itu suci, maka ia tidak akan pernah kenyang dari Al-Qur’an (selalu merindukan).”
Continue reading “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah (5)”

Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah (4)

Tarbiyah Syakhsiyah 4 – Pengaruh Berinteraksi dengan Al-Qur’an bagi Anak
*diringkas dari buku “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah : 16 Langkah Membangun Kepribadian Qur’ani” karya Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf, Al-Hafidz, Lc.

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang berperan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)

Begitulah pesan Rasulullah kepada setiap ayah, ibu, dan para pendidik yang beriman kepada Allah sebagai penerima amanah pertama dan utama dalam kehidupan manusia. Gambaran pesan Rasulullah di atas dalam realitanya adalah; seorang anak bagaikan lembaran kain putih bersih yang luas dan tidak bernoda setitik pun. Kain itu bisa dilukis dan diwarnai dengan apa saja yang diiginkan oleh lingkungannya -khususnya lingkungan keluarganya- karena merekalah lingkungan yang terdekat dengan seorang anak. Jika orang tua melukis lembaran kain putih itu dengan lukisan nuansa iman, Islam, Al-Qur’an dan mengikuti Rasulullah, niscaya sang anak tumbuh dengan kehidupan hidayah dan jalan yang lurus menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Bahkan kebahagiaan itu juga diberikan kepada orang tua yang telah berperan mengantarkan anaknya menjadi hamba Allah yang mewarnai hidupnya dengan Al-Qur’an.

“Pada hari kiamat kelak, Allah akan memberikan penghargaan kepada setiap ayah dan ibu di hadapan seluruh manusia sejagad, berupa mahkota kemuliaan (taajul karamah) yang sinarnya lebih terang dari sinar matahari. Sampai-sampai setiap orang tua akan terheran-heran. Mengapa kami harus mendapatkan penghargaan sebesar ini padahal kami bukanlah orang yang banyak beramal? Allah menjawab, “Itu karena kalian berdua telah mengajarkan kepada anakmu Al-Qur’an.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan al-Hakim)

Inilah pentingnya peran aktif kita sebagai orang tua, guru dan para pendidik untuk aktif mewarnai anak dengan Al-Qur’an, karena jika bukan kita yang aktif, maka faktor eksternal anaklah yang aktif mewarnainya, seperti televisi dan lainnya. Pengaruh eksternal itu tidak lepas dari pengaruh setan dan budaya yang menjauhkan anak dari akhlak mulia, bahkan nilai-nilai kemanusiaannya. Lukisan setan dan seluruh stafnya adalah lukisan yang memiliki daya rusak dan daya hancur yang cepat dan efektif. Seperti sarana hiburan elektronik yang hampir-hampir semua tayangannya menghancurkan dan meluluh-lantahkan benih-benih keimanan dan keislaman yang telah diletakkan oleh Allah dalam diri manusia.

Oleh karena itu, menyemai iman di hati anak dengan Al-Qur’an harus integral dan meliputi seluruh bentuk interaksi yang dicontohkan oleh Rasulullah, mulai dari tilawah, tahfidz, tafsir, dan tadabbur. Ulama salaf kita mencontohkan bahwa fokus pembinaan Al-Qur’an pada mereka adalah tilawah dan tahfidz. Al-Qur’an ibarat makanan yang disantap oleh manusia setiap hari, bahkan lebih dari itu. Apa yang kita makan setiap hari disadari atau tidak akan bermanfaat bagi tubuh, apakah sebagai zat yang membangun atau sebagai sumber energi, dan lainnya. Begitulah Al-Qur’an, apa yang dibaca oleh seseorang dengan didasari iman dan cinta kepada Allah pasti akan berproses menjadi cahaya, petunjuk, dan rahmat bahkan terapi bagi manusia yang beriman.

Program suci mengakrabkan Al-Qur’an kepada anak didik harus dengan pandangan keimanan, bukan dengan pandangan keterpaksaan atau tradisi. Karena sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kitab yang memiliki cakrawala pandangan yang luas seluas samudra yang tidak bertepi. Masa anak-anak adalah masa yang paling tepat mengakrabkan anak dengan nash-nash Al-Qur’an, sehingga menjadi hafalan yang melekat di dalam otak. Ia akan bermanfaat di usia dewasanya kelak, untuk pengembangan ilmu yang diminatinya. Dan kecenderungan potensi menghafal jika tidak diisi oleh Al-Qur’an, maka akan terisi hafalan-hafalan lain yang tidak bermanfaat, bahkan membahayakan anak.

Al-Qur’an yang suci akan cepat menyatu dengan jiwa yang suci yang ada pada diri anak, sehingga menghasilkan keimanan dan keislaman yang ideal. Ia akan menjadi modal besar pada masa dewasanya untuk melaksanakan syariat Allah dengan penuh ketulusan dan kesadaran, sebab dalam dirinya telah tercukupi modal keimanan yang seimbang dengan bobot amal tersebut. Spiritual yang sehat akan membuat anak kita kuat menghadapi tantangan kehidupan yang semakin tahun semakin meningkat dan berat, selanjutnya setiap tantangan kehidupan yang dihadapinya akan diselesaikan dengan solusi yang Rabbani, yakni senantiasa mengembalikan dirinya kepada Allah. Sebaliknya, spiritual yang ringkih akan menjadikan anak tidak tahan menghadapi tekanan hidup pada masa dewasanya sehingga maksiat menjadi solusi dalam menyelesaikan masalah. Na’udzu billah min dzalik!

Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami, seharusnya Al-Qur’an menjadi mata pelajaran unggulan dari mata pelajaran yang lain, karena ia merupakan pondasi segala ilmu yang dipelajari setiap orang. Tentunya dengan metode dan cara pembelajaran yang berbeda dengan mata pelajaran yang lain. Adalah persepsi salah, yang menyatakan bahwa pelajaran Al-Qur’an hanya terbatas pada anak-anak TK, atau anggapan berat dan sulit. Karena Al-Qur’an bukan diturunkan untuk menjadikan orang yang berinteraksi dengannya merasa tertekan jiwanya atau sengsara. Dengan demikian, Al-Qur’an harus menjadi mata pelajaran yang akrab dengan manusia, sejak masa anak-anak sampai akhir hayat.

Al-Qur’an adalah sumber ilmu yang tiada habis-habisnya. Semoga Allah menjadikan kita dan keluarga sebagai Ahlu Allah (orang-orang yang terdekat dengan Allah) yang kriterianya adalah hidup akrab dengan Al-Qur’an.

Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah (3)

Tarbiyah Syakhsiyah 3 – Apa Kewajiban Kita Terhadap Al-Qur’an?**
*diringkas dari buku “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah : 16 Langkah Membangun Kepribadian Qur’ani” karya Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf, Al-Hafidz, Lc.
**terjemahan dari petikan kitab “Majmu’ah ar-Rasa`il” Syeikh Hasan Al Banna, yang berjudul “Haqqul-Qur’an”

Tujuan diturunkan Al-Qur’an yang paling penting dari kewajiban yang Allah perintahkan kepada umat Islam adalah tiga, yaitu : 1) Memperbanyak tilawah sebagai bentuk ibadah pendekatan diri kepada Allah. 2) Menjadikannya sebagai sumber hukum agama dan syari’at, sehingga harus dipelajari, digali dan dijadikan sebagai alat istinbath (menentukan hukum suatu perkara). 3) Menjadikannya sebagai pondasi dalam urusan hukum dunia, karena ayat-ayatnya sangat akurat dan realistis. Itulah tiga tujuan utama yang telah Allah tetapkan dalam Kitab-Nya, dengannya Dia mengutus Nabi-Nya, dengannya diwariskan kepada kita sebagai pemberi nasihat, pengingat, penentu hukum yang adil dan penunjuk jalan yang lurus. Inilah yang dipahami salafus shalih kita, dan mereka telah melaksanakannya dengan pelaksanaan yang sebaik-baiknya.
Continue reading “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah (3)”

Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah (2)

Tarbiyah Syakhsiyah 2 – Mengapa Harus Satu Juz Setiap Hari?
*diringkas dari buku “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah : 16 Langkah Membangun Kepribadian Qur’ani” karya Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf, Al-Hafidz, Lc.

Marilah kita renungi terlebih dahulu, bagaimana Rasulullah mengajak para sahabatnya membaca Al-Qur’an, ditinjau dari masa atau waktu mengkhatamkannya. Kondisi ini sudah seharusnya menjadikan kita paham akan ashalah (orisinalitas) bagaimana salafus shalih dahulu dalam mengkhatamkan Al-Qur’an. Rasulullah bersabda, “Bacalah Al-Qur’an dalam sebulan, atau bacalah dalam dua puluh lima, bacalah dalam lima belas, bacalah dalam sepuluh, bacalah dalam tujuh. Tidak akan paham bagi yang membacanya dalam kurang dari tiga hari.” (HR. Ahmad). Dalam riwayat lain disebutkan, “Bacalah Al-Qur’an dalam empat puluh.” (HR. Abu Dawud).
Continue reading “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah (2)”

SA’ID BIN ‘AMIR AL JUMAHY (1)

“Dia telah membeli akhirat dengan dunia, dan mengutamakan keridhaan Allah dan Rasul atas segala-galanya.”
(Mu’arrikhin)

SA’ID BIN ‘AMIR AL JUMAHY, termasuk seorang pemuda di antara ribuan orang yang pergi ke Tan’im, di luar kota Makkah. Mereka berbondong-bondong ke sana, dikerahkan para pemimpin Quraisy untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati terhadap Khubaib bin ‘Ady, yaitu seorang sahabat Nabi yang mereka jatuhi hukuman tanpa alasan.

Dengan semangat muda yang menyala-nyala, Sa’id maju menerobos orang banyak yang berdesak-desakan. Akhirnya dia sampai ke depan, sejajar dengan tempat duduk orang-orang penting, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah dan lain-lain.

Kaum kafir Quraisy sengaja mempertontonkan tawanan mereka dibelenggu. Sementara para wanita, anak-anak dan pemuda, menggiring Khubaib ke lapangan maut. Mereka ingin membalas dendam terhadap Nabi Muhammad saw., serta melampiaskan sakit hati atas kekalahan mereka dalam perang Badar.

Ketika tawanan yang mereka giring sampai ke tiang salib yang telah disediakan, Sa’id mendongakkan kepala melihat kepada Khubaib bin ‘Ady. Sa’id mendengar suara Khubaib berkata dengan mantap, “Jika kalian bolehkan, saya ingin shalat dua raka’at sebelum saya kalian bunuh…”

Kemudian Sa’id melihat Khubaib menghadap ke kiblat (Ka’bah). Dia shalat dua raka’at. Alangkah bagus dan sempurna shalatnya itu. Sesudah shalat, Khubaib menghadap kepada para pemimpin Quraisy seraya berkata, “Demi Allah! Seandainya kalian tidak akan menuduhku melama-lamakan shalat untuk mengulur-ngulur waktu karena takut mati, niscaya saya akan shalat lebih banyak lagi.” Mendengar ucapan Khubaib tersebut, Sa’id melihat para pemimpin Quraisy naik darah, bagaikan hendak mencincang-cincang tubuh Khubaib hidup-hidup.

Kata mereka, “Sukakah engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan?”

“Saya tidak ingin bersenang-senang dengan istri dan anak-anak saya, sementara Muhammad tertusuk duri..,” jawab Khubaib mantap.

“Bunuh dia…! Bunuh dia…!” teriak orang banyak. Sa’id melihat Khubaib telah dipakukan ke tiang salib. Dia mengarahkan pandangannya ke langit sambil mendo’a, “Ya, Allah! Hitunglah jumlah mereka! Hancurkanlah mereka semua. Jangan disisakan seorang jua pun!”

Tidak lama kemudian Khubaib menghembuskan nafasnya yang terakhir di tiang salib. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka karena tebasan pedang dan tikaman tombak yang tak terbilang jumlahnya.

Kaum kafir Quraisy kembali ke Makkah biasa-biasa saja. Seolah-olah mereka telah melupakan peristiwa maut yang merenggut nyawa Khubaib dengan sadis.

Tetapi Sa’id bin ‘Amir Al Jumahy yang baru meningkat usia remaja tidak dapat melupakan Khubaib walau agak sedetikpun. Sehingga dia bermimpi melihat Khubaib menjelma di hadapannya. Dia seakan-akan melihat Khubaib shalat dua raka’at dengan khusyu’ dan tenang di bawah tiang salib. Seperti terdengar olehnya rintihan suara Khubaib mendo’akan kaum kafir Quraisy. Karena itu Sa’id ketakutan kalau-kalau Allah swt. segera mengabulkan do’a Khubaib, sehingga petir dan halilintar menyambar kaum Quraisy.

Keberanian dan ketabahan Khubaib menghadapi maut mengajarkan pada Sa’id beberapa hal yang belum pernah diketahuinya selama ini.
Pertama, hidup yang sesungguhnya ialah hidup berakidah (beriman); kemudian berjuang mempertahankan akidah itu sampai mati.
Kedua, iman yang telah terhujam dalam di hati seseorang dapat menimbulkan hal-hal yang ajaib dan luar biasa.
Ketiga, orang yang paling dicintai Khubaib ialah sahabatnya, yaitu seorang Nabi yang dikukuhkan dari langit.

Sejak itu Allah swt. membukakan hati Sa’id bin ‘Amir untuk menganut agama Islam. Kemudian dia berpidato di hadapan khalayak ramai, menyatakan: alangkah bodohnya orang Quraisy menyembah berhala. Karena itu dia tidak mau terlibat dalam kebodohan itu. Lalu dibuangnya berhala-hala yang dipujanya selama ini. Kemudian diumumkannya bahwa mulai saat itu dia masuk Islam.

Tidak lama sesudah itu, Sa’id menyusul kaum muslimin hijrah ke Madinah. Di sana dia senantiasa mendampingi Nabi saw. Dia ikut berperang bersama beliau, mula-mula dalam peperangan Khaibar. Kemudian dia selalu turut berperang dalam setiap peperangan berikutnya.

Setelah Nabi saw. berpulang ke rahmatullah, Sa’id tetap menjadi pembela setia Khalifah Abu Bakar dan ‘Umar. Dia menjadi teladan satu-satunya bagi orang-orang mu’min yang membeli kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia. Dia lebih mengutamakan keridhaan Allah dan pahala daripada-Nya di atas segala keinginan hawa nafsu dan kehendak jasad.

Kedua Khalifah Rasulullah, Abu Bakar dan ‘Umar bin Khaththab, mengerti bahwa ucapan-ucapan Sa’id sangat berbobot, dan takwanya sangat tinggi. Karena itu keduanya tidak keberatan mendengar dan melaksanakan nasihat-nasihat Sa’id.

Pada suatu hari di awal pemerintahan Khalifah ‘Umar bin Khaththab, Sa’id datang kepadanya memberi nasihat.

Kata Sa’id, “Ya ‘Umar! Takutlah kepada Allah dalam memerintah manusia. Jangan takut kepada manusia dalam menjalankan agama Allah! Jangan berkata berbeda dengan perbuatan. Karena sebaik-baik perkataaan ialah yang dibuktikan dengan perbuatan.

Hai ‘Umar! Tunjuklah seluruh perhatian Anda kepada urusan kaum muslimin, baik yang jauh maupun yang dekat. Berikan kepada mereka apa yang Anda dan keluarga sukai. Jauhkan dari mereka apa-apa yang Anda dan keluarga Anda tidak sukai. Arahkan semua karunia Allah kepada yang baik. Jangan hiraukan cacian orang-orang yang suka mencaci.”

“Siapakah yang sanggup melaksanakan semua itu, hai Sa’id?” tanya Khalifah ‘Umar.

“Tentu orang seperti Anda! Bukankah Anda telah dipercayai Allah memerintah umat Muhammad ini? Bukankah antara Anda dengan Allah tidak ada lagi suatu penghalang?” jawab Sa’id meyakinkan.

Pada suatu ketika Khalifah ‘Umar memanggil Sa’id untuk diserahi suatu jabatan dalam pemerintahan.

“Hai Sa’id! Engkau kami angkat menjadi Gubernur di Himsh!” kata Khalifah ‘Umar.

“Wahai ‘Umar! Saya memohon kepada Allah semoga Anda tidak mendorong saya condong kepada dunia,” kata Sa’id.

“Celaka engkau!” balas ‘Umar marah. “Engkau pikulkan beban pemerintahan ini di pundakku, tetapi kemudian engkau menghindar dan membiarkanku repot sendiri.”

(bersambung)

Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah (1)

Tarbiyah Syakhsiyah 1 – Memahami Fadhail Al-Qur’an dan Membangun Rasa Cinta Al-Qur’an
*diringkas dari buku “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah : 16 Langkah Membangun Kepribadian Qur’ani” karya Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf, Al-Hafidz, Lc.

Ketertarikan atau ketidaktertarikan kita terhadap sesuatu adalah tergantung pada latar belakang informasi dan pengetahuan kita tentang objek tersebut, dan yang dominan adalah terkait dengan kelebihannya dan manfaat yang terkandung di dalamnya. Karena itu, agar kita tertarik kepada Al-Qur’an, Rasulullah memberi banyak penjelasan tentang keutamaan-keutamaannya (Fadhail Qur’an). Sehingga ketika keimanan kepada Allah bertemu dengan penjelasan Rasulullah tentang Al-Qur’an, maka terbangunlah ketertarikan kepadanya. Continue reading “Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah (1)”

Memaknai Makna Syahadatain

Ustadz Muhsinin Fauzi pada acara mabit bersama Daarut Tauhid Jakarta, Masjid Baitul Ihsan 31 Desember 2011.

Mungkin syahadatain sudah sangat tidak asing di kepala kita semua. Setiap hari kita membaca kalimat tersebut dalam shalat wajib maupun shalat sunnat kita. Namun apakah hal itu menjadi jaminan bahwa makna syahadat sudah terhujam dalam hati dan jiwa kita? Sementara pada zaman Rasulullah SAW, syahadain adalah kalimat yang mengubah kehidupan seseorang, sedemikain dahsyatnya sehingga Abu Jahal sama sekali tidak berani mengucapkannya karena tau dengan sangat akan konsekuensi logis dari pengucapan kalimat tersebut.

Syahadatain adalah kalimat yang bisa mengubah kehidupan manusia dari kikir menjadi dermawan, dari jahat menjadi baik, dari sombong menjadi rendah hati, dari lemah menjadi kuat, dan lain sebagainya. Dengan kalimat itulah Rasulullah mengubah dunia,, dari kegelapan jahiliyah menjadi dunia yang terang benderang sedemikiam rupa….

Syahadatain adalah akar iman,, ia adalah sebuah pembuktian cinta dari serorang makhluk kepada Sang Khalik, sebuah pernyataan yang menyatakan kesadaran sepenuhnya akan tugas yang diemban sebagai alasan penciptaannya, sebuah kalimat yang menjadi bukti atas segala ketaatan di atas segalanya.

Iman, yang seperti kita ketahui definisinya bersama-sama. Menjadi familiar dan biasa. Padahal kata kata agung ini yang menjadi pembeda seorang manusia dengan manusia lainnya. Dan yang menjadi dasar keimanan itu adalah syahadatain. Karena tanpa pengucapan kalimat ini maka tidak bisa dikatakan seseorang itu beriman kepada Allah atau tidak. Diibaratkan, syahadat seperti pernyataan cinta seorang kekasih (katakanlah Fulan) kepada kekasihnya (Fulanah) Dari mana Fulanah bisa tahu bahwa ada Fulan mencintainya ketika Fulan tidak mengatakannya, meskipun Fulan bejibaku menmenuhi semua keinginan Fulanah, menemani, menggembirakan dan lain sebagainya, tapi ketika pernyataan cinta tidak diucapkan maka Fulanah tidak akan tahu perasaan Fulan yang sebenarnya kepada dirinya, apakah hanya bentuk perhatian seorang sahabat atau apa? Analogi yang lain adalah syahadatain diibaratkan pernyataan ijab qabul sebuah pernikahan. Sebuah pernyataan yang mengungkapkan kesiapan sang suami terhadap isterinya akan setiap hak dan kewajiban yang terjadi di antara mereka ketika resmi nantinya, misalnya siap memberi nafkah, dll. Kedua analogi ini adalah analogi sederhana yang cukup tepat menggambarkan bagaimana posisi syahadatain dalam pengakuan status keislaman dan keimanan seseorang.

Keimanan yang terhujam dalam hati yang teaktualisasikan dalam bentuk amalan yang nyata tidak akan sempurna tanpa pernyataan dari lisan. Contoh yang sangat nyata adalah paman Rasulullah SAW, yakni Abu Thalib yang sampai akhir hayatnya tidak bisa mengucapkan syahadatain. Ketiga aspek yakni keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan dan aktualisasi dengan amal perbuatan menjadi komponen dalam menyusun keimanan seorang manusia secara utuh.

Dalam tata pergaulan kita mengenal kata gombal, ketika seorang A menyatakan cinta kepada B tanpa mengerti kata cinta itu dalam hatinya. Dalam Islam, ketika seseorang menyatakan ISLAM dengan bersyahadat namun tidak mengerti dan memahami arti penting, posisi, dan makna dari syahadat yang diucapkannya maka dia disebut sebagai perbuatan NIFAQ, dan orang yang nifaq disebut MUNAFIQ. Sementara yang tidak mau sama sekali mengucapkan syahadat, kita sebut dengan istilah KAFIR.

Terhujamnya makna syahadatain dalam hati dengan sendirinya akan melahirkan keyakinan yang sedemikain kuat akan apa2 yang ditetapkan oleh Allah semisal Rizki, jodoh, keselamatan, dll. Seperti disampaikan sebelumnya bahwa Syahadatain mampu mengubah kehidupan manusia. Ketika syahadat terucap dan sang manusia tidak berubah sesuai dengan yang seharusnya maka PASTI ADA YANG SALAH DENGAN PENGUCAPAN ATAU PEMAKNAAN SYAHADATAIN YANG DILAKUKAKNNYA. Hal ini perlu dievaluasi, karena bagaimanapun ketika syahadatin terucap dan terinternalisasi dengan baik dan benar akan berdampak pada aktualisasi akhlaq dan amal ubadah yang signifikan pengaruhnya.

Terdapat 4 jenis orang yang akan mendapat nikmat di akhirat kelak. Yaitu:

  1. Nabiyyiin: Orang yang sudah tidak memiliki urusan dunia untuk dirinya sendiri, melainkan hanya urusan Allah semata. Orang2 ini adalah orang yang memilki PEMBUKTIAN TOTAL dari semua aspek kehidupannya yang diserahkannya 100% hanya untuk Allah, menegakkan kalimat Allah, melaksanakan segala yang diperintah Allah.mereka tidak akan marah ketika mereka diejek atau dicelakakan. Tapi mereka akan marah ketika nama Allah yang direndahkan. Orang2 ini adalah para nabi dan Rasul, bagi kita manusia biasa HARAM memasuki ranah ini, karena setelah Nabi Muhammad SAW tidak akan ada lagi Nabi.
  2. Siddiqin adalah orang2 yang memiliki totalitas pengabdian dan pembuktian total kepada Allah yang derajatnya lebih rendah dibandingkan derajat para nabiyyin.  Contoh sosok siddiqiin adalah Abu Bakar, yang ketika perang Tabuk hanya meninggalkan Allah dan RasulNya (tapi subhanallah meninggalkan Allah dan Rasyl untuk keluarganya itu adalah cukup) untuk keluarganya, dan membawa semua harta yang dimilikinya untuk jihad di jalan Allah.
  3. Syuhada: adalah orang2 yang mengorbankan Harta yang paling berharga setelah agama yaitu NYAWA. Mereka berani kehilangan nyawa mereka untuk mendukung tegaknya islam di muka bumi.
  4. Shalihin adalah orang2 yang mengorbankan sebagian yang dimilikinya untuk Allah. Derajat ini merupakan level paling rendah yang mau tidak mau harus bisa kita masuki. Karena jika tidak, maka tidak akan ada celah dan kesempatan bagi kita manusia biasa ini untuk bisa menjadi bagian dari orang2 yang merasakan surga Allah nanti. Dan besarnya pengorbanan yang kita berikan menjadi BESARAN IMAN yang kita miliki

Memaknai Makna Syahadatain