Jasa titip online berdasarkan ajaran syariah

Perkembangan dunia teknologi yang semakin maju yang diiringi pemenuhan kebutuhan dengan cara yang semakin advance, membuat teknologi dalam jual beli pun ikut berkembang. Jual beli online, titip beli online, e-money, online shopping. Live shopping dan masih banyak sekali istilah-istilah yang muncul pada satu decade terakhir terkait perkembangan teknologi informasi. Kala mungkin sebagian besar masyarakat menengah ke atas memiliki akses yang terbatas atau tidak terbatas pada dunia yang namanya internet yang didukung oleh system ntah itu android, atau windowsphone atau apapun yang juga ikut berkembang sedemikian pesat.

Namun perkembangan ini perlu juga didukung dengan pemahaman syariah yang jelas karena bisa jadi ada unsur-unsur haram yang tanpa disadari ikut terlibat dalam proses jual beli online yang kita lakukan karena Allah sudah dengan sangat jelas menyatakan dalam Al Quran Surat Al Baqarah:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” [Al-Baqarah: 275]

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang semua jenis atau semua istilah dalam jual beli onlen. Hanya tentang jasa titip online yang kemarin sempat memenuhi beranda FB saya dan banyaknya kasus yang dilakukan oleh senior, teman seangkatan, dan junior saya dari kampus dulu. Dan bahasan ini adalah berdasarkan satu bagian dalam buku  “Harta Haram Muamalat Kontemporer” yang ditulis oleh Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi. MA, juga hasil diskusi dengan beberapa orang yang punya link langsung ke Ustadz. Continue reading “Jasa titip online berdasarkan ajaran syariah”

Izin Suami dan Kebebasan Wanita Muslimah

Berbicara tentang muslimah, ada banyak sekali rujukan yang terdapat dalam Al Quran dan hadits yang seharusnya menjadi panduan dalam langkah-langkah indah seorang wanita muslimah dalam menjalani setiap aktifitasnya di dunia untuk mendapatkan ridha Allah. Perubahan status ridho Allah yang semula dinisbatkan pada kedua orang tua akan berubah ketika sang muslimah menikah. Ridho suami adalah segalanya bagi seorang wanita dengan status istri. Mengapa itu menjadi sedemikian penting? Mengapa surga nerakanya seorang wanita muslimah kemudian harus ditentukan oleh seorang ikhwan yang kemudian menjadi suaminya? Mari coba simak hadits-hadits berikut.

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya)

“Aku melihat ke dalam Syurga maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah fuqara’ (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam Neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penghuninya adalah wanita.” (Hadis Riwayat Al- Bukhari dan Muslim)

“ … dan aku melihat Neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita. Para sahabat pun bertanya : “Mengapa (demikian) wahai Rasulullah?” Baginda s.a.w menjawab : “Kerana kekufuran mereka.” Kemudian ditanya lagi : “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Baginda menjawab : “Mereka kufur terhadap suami-suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) nescaya dia akan berkata : ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (Hadis Riwayat Imam Al-Bukhari)

Mengapa seorang istri shalihah dapat memasuki surga dari pintu mana saja seperti disebutkan pada hadits pertama? Melihat pahalanya yang sedemikain besar, bisakah kita lihat bahwa tersimpan fakta yang secara jelas bahwa menjadi seorang  istri shalihah yang status ketaatannya terhadap suami terlihat setara dengan ibadah-ibadah utama sepert shaum, puasa dan menjaga kemaluan.

Namun pada dua hadits berikutnya disebutkan hal yang berkebalikan, bahwa kufurnya seorang istri terhadap suaminya bisa membawanya kepada neraka, yang menjadi penyebab mengapa mayoritas penghuni neraka adalah wanita.

Artinya, menyandang status sebagai istri shalihah memang  tidak gampang dan penuh dengan tantangan. Tapi sekali ridha dari suami diperoleh, berdasarkan hadist-hadits tersebut, maka paling tidak satu syarat masuk surga bisa berhasil dikantongi bukan? Continue reading “Izin Suami dan Kebebasan Wanita Muslimah”

Ghodul Bashar (Menjaga atau Menundukan Pandangan)

“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, agar mereka menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” …(QS An Nur: 30)

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan sebagian pandangannya dan memelihara kemaluannya. Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya” (QS An Nur: 31)

Menjaga pandangan adalah salah satu bentuk perintah yang Allah berikan kepada para mu’min-orang orang yang beriman yang ditujukan untuk menjaga fitrah para manusia dari dosa dan maksiat yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam kekufuran dan murka Allah.

Seperti diketahui bahwa pandangan adalah salah satu jendela manusia untuk melihat dunia.. jika tidak dijaga maka bisa saja “yang dilihat pandangan” menjadi sumber maksiat dan dosa. Dalam banyak konteks, menjaga pandangan dikonotasikan ke arah pandangan ke arah lawan jenis karena banyak sekali dosa dan maksiat yang bisa timbul akibat hal tersebut, meskipun sebenarnya konteks pandangan di sini bisa jadi jauh lebih luas daripada itu.

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang lebih baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)

Adapun beberapa hal penting terkait menjaga pandangan ini adalah sebagai berikut:

1. Rasulullah pernah menjelaskan bahwa pandangan pertama tidak berdosa, yang penting adalah tidak memfollow up pandangan dengan pandangan berikutnya

2. Godhul Bashar sudah ada sejak zaman Rasulullah dan juga kekhailfahan, namun setiap zaman memiliki karakteristik tantangan zaman yang berbeda yang bisa jadi membutuhkan penanganan yang berbeda meskipun berakar pada hal yang sama. Maksudnya adalah tuntunan “menjaga pandangan” tentu ada dalam Al Quran, hanya saja karakteristik zaman yang berbeda akan membuat “aksi” nya berbeda juga. Misalnya tantangan global era teknologi informasi yang menjadikan zaman ini lebih “digital” yang harus diantisipasi dengan cara-cara yang tepat

3. Bentuk pengingatan dari saudara/i dalam bentuk tausiyah, dan ta’awun karena kadang “sendiri” itu butuh effort ekstra. Hal ini juga yang menjadi salah satu keindahan “beramal jama’i”

4. Salah satu strategi menjaga pandangan adalah mengalihkan pandangan, seperti yang pernah dicontohkan oleh Ali Bin Abi Thalib

5. Jika sudah kepalang terjadi, untuk menjaga sensitifitas hati dan menghindari follow up bisikan setan yang lebih dahsyat lainnya, maka bertaubatlah dan perbanyaklah amal shalih supaya tidak terjadi yasna’un (QS Hud 114),

6. Memelihara shalat

7. Ghodhul Bashar itu berat tapi ini jauh lebih ringan dibandigkan dengan dampak yang akan terjadi karena memandang bisa mengakibatkan “tekanan-tekanan jiwa” dan ketidakterjagaannya hawa nafsu

8. Jika mata sudah memandang (konotasi negatif), maka pandangan tersebut akan bisa melemahkan jiwa, mengurangi keberkahan dakwah (karena bercampurnya niat karena Allah dan bukan karena Allah), dan berkurangnya keikhlasan

9. Hikmah menjaga pandangan:
a. Halawatul iman, merasakan kelezatan iman yang dimulai dengan menjaga sahwat mata
b. Karaman dalam jiwa yang mengakibatkan penglihatan menjadi terseleksi hanya karena Allah saja
c. Quwwatun Qalbu (kekuatan hati), menjaga izzah karenna mata yang terbiasa maksiat akan mengurangi izzah manusia tersebut.

Takwa? Mana yang Lebih Utama dan Lebih Sulit, mematuhi Perintah atau Menjauhi Larangan?

Bahasan ini tidak untuk mempertentangkan 2 buah ketetapan yang sejalan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya. Tidak untuk membawa pikiran-pikiran membandingkan yang ujungnya adalah kesiaan. Hanya sebuah analisis yang sekiranya diharapkan untuk dapat meningkatkan pemahaman dan keimanan bagi siapapun yang membacanya..

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya;dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam. (Ali Imran:102)

Mungkin semua umat muslim di Indonesia sudah sangat familiar dengan istilah takwa karena di sekolah (SD, SMP, atau SMU, bahkan kuliah), kita terbiasa menghafalkan banyak definisi, termasuk di antaranya adalah definisi takwa.

Definisi yang sering didengungkan di banyak text books adalah bahwa takwa itu berarti mematuhi perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Tapi pernahkah kita menelusuri secara lebih mendalam definisi dan makna dari kedua aspek tersebut? Manakan yang lebih utama? Mana yang lebih susah? Perbedaan prinsip atas keduanya? Mana yang Allah lebih sukai? Dan berbagai pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Jadi, prinsip dasar untuk “mematuhi perintah” adalah “berdasar kemampuan”. Dalam berbagai hadits disebutkan bahwa beribadah menjalankan amalan-amalan kebaikan pada dasarnya adalah sesuai dengan kemampuan kita (Hadits Arba’in No.9). Oleh karena itu, ada yang disebut sebagai level ibadah. Kalau kita bisa melakukan satu jenis ibadah, kemudian kuantitas atau kualitas atau bahkan jenis ibadah itu sendiri bisa ditingkatkan. Misalnya, kita bisa puasa Sunnah sebulan sekali, lalu ada yang bisa puasa senin kamis, ada yang bisa puasa senin-kamis-ayamul bidh, dan ada juga yang bisa puasa daud. Membaca Al Quran pun demikian, ada yang bisa baca hanya sebulan sekali, selembar sehari, sejuz sehari.. semuanya tergantung kemampuan dan kemampuan ini akan tergantung pada seberapa besar keimanan dan semangat kita untuk menjalankan apa yang Allah perintahkan.

Namun yang perlu diperhatikan adalah standar dari perintah ini haruslah berada dalam limitasi “wajib atau fardhu”. Maksudnya, ada batasan fardhu dari ibadah perintah yang dijalankan, yaitu ibadah wajib meliputi shalat 5 waktu, puasa Ramadhan, dan zakat fitrah. Maka selain dari itu sifatnya adalah penambahan sesuai kemampuan.

Sementara itu, basis dari “menjauhi larangan” adalah hawa nafsu, keinginan, dan kebutuhan.”Menjauhi larangan” pada dasarnya mencegah manusia terjerembab pada keinginan dan kebutuhan untuk melakukan sesuatu yang dilarang Allah atau dengan maksud untuk melatih dan mengendalikan hawa nafsu. Keinginan atau kebutuhan mendasar yang terkait hawa nafsu di sini misalnya adalah syahwat terkait lawan jenis. Puasa adalah contoh ibadah yang berdasar pada prinsip “menjauhi larangan”. Hal ini bukan berarti makan dan minum adalah hal yang dilarang secara general, melainkan dilarang pada waktu tertentu (yaitu pada waktu puasa dijalankan, mulai terbit matahari hingga tenggelam). Puasa menjadi salah satu bentuk ibadah “larangan”yang berfungsi melatih fungsi ”control” secara umum.

Sifat “menjauhi larangan” adalah “no dispensasi”. Misalnya kalo puasa, batal di tengah hari, ya batal puasanya. Sebagai akibatnya harus diganti dengan qadha, atau membayar kifarat. Dan ketika kita jatuh ke dalam larangan terhadap suatu hal, maka hanya taubat yang bisa menjadi obat. Sementara jika kita tidak melalukan suatu ibadah Sunnah, maka hanya kerugian yang menjadi konsekuensi bagi kita, bukan jenis konsekuensi yang berat seperti halnya makan ketika berpuasa atau melakukan maksiat.

Sifat “no dispensasi” ini sebenarnya cukup dimengerti. It makes sense at all, karena pada dasarnya tujuan “menjauhi larangan” adalah tadi, yaitu bersifat melindungi ftrah sejati manusia berupa agama (larangan pindah agama), jiwa (larangan membunuh jiwa tanpa alasan), akal (larangan minum alcohol), keimanan (larangan berzina), dan harta (larangan mencuri) ( Rosdiawan, 2012).

Bahkan dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah bahwa, “ Sesungguhnya bangunan dan pondasi syari’at dibangun diatas hikmah dan kemaslahatan para hamba, di dunia dan akhirat. Seluruh syari’at Islam adalah keadilan, rahmat, maslahat dan hikmah.” (Rosdiawan, 2012)

Jika mau menelisik lebih jauh ke dalam konsepsi etimologis, sebenarnya definisi takwa sendiri berdasarkan asal katanya dalam Bahasa arab, kata “taqwa” memiliki kata dasar waqa yang berarti menjaga,melindungi, hati-hati, waspada, memerhatikan, dan menjauhi.

Banyak ahli ulama yang menyatakan bahwa “menjauhi larangan” lebih sulit dijalankan daripada “menjalankan perintah” karena alasan karakteristik “menjauhi larangan” yang lebih menyentuh aspek dasar kebutuhan dan didukung dengan sifat dasar manusia yang “nakal” dan “penasaran”.

Ingat eksperimen psikolog dari universitas Stanford yang mengunci sebuah ruangan yang berisi seorang anak dan marshmallow? Sang anak diberikan woro-woro, bahwa dia tidak boleh memakan marshmallow tersebut apapun yang terjadi. Jika sang anak bisa menghindari memakan marshmallow tersebut maka dia dijanjikan akan diberikan 2 marshmallow setelahnya.http://www.cnn.com/2014/12/22/us/marshmallow-test/

Hasil dari test tersebut memang sudah diduga hehheh… bisa dilihat di video bagaimana sang anak-anak mengontrol ekspresi muka mereka heheh… lucu pisan. Kasus lain terkait “menjauhi larangan” yang juga sangat terkenal dan benar-bener bisa dijadikan pelajaran adalah kisah Nabi Adam dan Hawa atas larangan Allah memakan buah khuldi…

Well, ini hanyalah salah dua dari berbagai contoh riil betapa pengendalian diri adalah hal yang sulit, dan betapa Allah sudah mengakomodasi ini dalam satu part konsep takwa itu sendiri…

Tapi… hal ini tidak berarti kita focus menjauhi larangan saja. Kedua konsep ini harus dilaksanakan secara seimbang. Karena ketika kita bisa menjauhi larangan Allah, kita juga harus bisa menjalankan perintah-perintah yang bersifat Sunnah untuk lebih bisa mendapatkan kecintaan  Allah.. memperbanyak amalan Sunnah dan menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang akan merusak diri (tentu kalo ibadah Fardhu mah bukan dalam konteks diskusi lagi karena sudah jelas “wajib”nya).

Dari Imam Al Ghazali, bahwa sebenarnya jika kita disibukan dengan aktifitas menjalankan perintah, maka kita akan terlalu sibuk, sehingga tidak ada waktu untuk melakukan maksiat. Selain itu, pada dasarnya “menjauhi larangan” juga adalah salah satu bentuk “menjalankan perintah”, benar kan?

Dan tulisan ini, saya akhiri dengan pernyataan Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah berkata : ”bukanlah ketakwaan kepada Allah itu dengan shalat malam, puasa siang hari atau menggabungkan keduanya, namun ketakwaaan itu adalah mengerjakan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah dan meninggalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah. Aku ingin sekiranya aku tidak mengerjakan shalat kecuali shalat lima waktu dan shalat witir; menunaikan zakat dan kemudian tidak bersedekah lagi meskipun hanya satu dirham; melaksanakan puasa Ramadhan dan kemudian tidak berpuasa lagi meskipun hanya satu hari; mengerjakan haji yang wajib dan kemudian tidak menunaikan haji lagi; akan tetapi kemudian aku kerahkan seluruh sisa kekuatan untuk menahan diri dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah.”

Continue reading “Takwa? Mana yang Lebih Utama dan Lebih Sulit, mematuhi Perintah atau Menjauhi Larangan?”

Memaknai Makna Syahadatain

Ustadz Muhsinin Fauzi pada acara mabit bersama Daarut Tauhid Jakarta, Masjid Baitul Ihsan 31 Desember 2011.

Mungkin syahadatain sudah sangat tidak asing di kepala kita semua. Setiap hari kita membaca kalimat tersebut dalam shalat wajib maupun shalat sunnat kita. Namun apakah hal itu menjadi jaminan bahwa makna syahadat sudah terhujam dalam hati dan jiwa kita? Sementara pada zaman Rasulullah SAW, syahadain adalah kalimat yang mengubah kehidupan seseorang, sedemikain dahsyatnya sehingga Abu Jahal sama sekali tidak berani mengucapkannya karena tau dengan sangat akan konsekuensi logis dari pengucapan kalimat tersebut.

Syahadatain adalah kalimat yang bisa mengubah kehidupan manusia dari kikir menjadi dermawan, dari jahat menjadi baik, dari sombong menjadi rendah hati, dari lemah menjadi kuat, dan lain sebagainya. Dengan kalimat itulah Rasulullah mengubah dunia,, dari kegelapan jahiliyah menjadi dunia yang terang benderang sedemikiam rupa….

Syahadatain adalah akar iman,, ia adalah sebuah pembuktian cinta dari serorang makhluk kepada Sang Khalik, sebuah pernyataan yang menyatakan kesadaran sepenuhnya akan tugas yang diemban sebagai alasan penciptaannya, sebuah kalimat yang menjadi bukti atas segala ketaatan di atas segalanya.

Iman, yang seperti kita ketahui definisinya bersama-sama. Menjadi familiar dan biasa. Padahal kata kata agung ini yang menjadi pembeda seorang manusia dengan manusia lainnya. Dan yang menjadi dasar keimanan itu adalah syahadatain. Karena tanpa pengucapan kalimat ini maka tidak bisa dikatakan seseorang itu beriman kepada Allah atau tidak. Diibaratkan, syahadat seperti pernyataan cinta seorang kekasih (katakanlah Fulan) kepada kekasihnya (Fulanah) Dari mana Fulanah bisa tahu bahwa ada Fulan mencintainya ketika Fulan tidak mengatakannya, meskipun Fulan bejibaku menmenuhi semua keinginan Fulanah, menemani, menggembirakan dan lain sebagainya, tapi ketika pernyataan cinta tidak diucapkan maka Fulanah tidak akan tahu perasaan Fulan yang sebenarnya kepada dirinya, apakah hanya bentuk perhatian seorang sahabat atau apa? Analogi yang lain adalah syahadatain diibaratkan pernyataan ijab qabul sebuah pernikahan. Sebuah pernyataan yang mengungkapkan kesiapan sang suami terhadap isterinya akan setiap hak dan kewajiban yang terjadi di antara mereka ketika resmi nantinya, misalnya siap memberi nafkah, dll. Kedua analogi ini adalah analogi sederhana yang cukup tepat menggambarkan bagaimana posisi syahadatain dalam pengakuan status keislaman dan keimanan seseorang.

Keimanan yang terhujam dalam hati yang teaktualisasikan dalam bentuk amalan yang nyata tidak akan sempurna tanpa pernyataan dari lisan. Contoh yang sangat nyata adalah paman Rasulullah SAW, yakni Abu Thalib yang sampai akhir hayatnya tidak bisa mengucapkan syahadatain. Ketiga aspek yakni keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan dan aktualisasi dengan amal perbuatan menjadi komponen dalam menyusun keimanan seorang manusia secara utuh.

Dalam tata pergaulan kita mengenal kata gombal, ketika seorang A menyatakan cinta kepada B tanpa mengerti kata cinta itu dalam hatinya. Dalam Islam, ketika seseorang menyatakan ISLAM dengan bersyahadat namun tidak mengerti dan memahami arti penting, posisi, dan makna dari syahadat yang diucapkannya maka dia disebut sebagai perbuatan NIFAQ, dan orang yang nifaq disebut MUNAFIQ. Sementara yang tidak mau sama sekali mengucapkan syahadat, kita sebut dengan istilah KAFIR.

Terhujamnya makna syahadatain dalam hati dengan sendirinya akan melahirkan keyakinan yang sedemikain kuat akan apa2 yang ditetapkan oleh Allah semisal Rizki, jodoh, keselamatan, dll. Seperti disampaikan sebelumnya bahwa Syahadatain mampu mengubah kehidupan manusia. Ketika syahadat terucap dan sang manusia tidak berubah sesuai dengan yang seharusnya maka PASTI ADA YANG SALAH DENGAN PENGUCAPAN ATAU PEMAKNAAN SYAHADATAIN YANG DILAKUKAKNNYA. Hal ini perlu dievaluasi, karena bagaimanapun ketika syahadatin terucap dan terinternalisasi dengan baik dan benar akan berdampak pada aktualisasi akhlaq dan amal ubadah yang signifikan pengaruhnya.

Terdapat 4 jenis orang yang akan mendapat nikmat di akhirat kelak. Yaitu:

  1. Nabiyyiin: Orang yang sudah tidak memiliki urusan dunia untuk dirinya sendiri, melainkan hanya urusan Allah semata. Orang2 ini adalah orang yang memilki PEMBUKTIAN TOTAL dari semua aspek kehidupannya yang diserahkannya 100% hanya untuk Allah, menegakkan kalimat Allah, melaksanakan segala yang diperintah Allah.mereka tidak akan marah ketika mereka diejek atau dicelakakan. Tapi mereka akan marah ketika nama Allah yang direndahkan. Orang2 ini adalah para nabi dan Rasul, bagi kita manusia biasa HARAM memasuki ranah ini, karena setelah Nabi Muhammad SAW tidak akan ada lagi Nabi.
  2. Siddiqin adalah orang2 yang memiliki totalitas pengabdian dan pembuktian total kepada Allah yang derajatnya lebih rendah dibandingkan derajat para nabiyyin.  Contoh sosok siddiqiin adalah Abu Bakar, yang ketika perang Tabuk hanya meninggalkan Allah dan RasulNya (tapi subhanallah meninggalkan Allah dan Rasyl untuk keluarganya itu adalah cukup) untuk keluarganya, dan membawa semua harta yang dimilikinya untuk jihad di jalan Allah.
  3. Syuhada: adalah orang2 yang mengorbankan Harta yang paling berharga setelah agama yaitu NYAWA. Mereka berani kehilangan nyawa mereka untuk mendukung tegaknya islam di muka bumi.
  4. Shalihin adalah orang2 yang mengorbankan sebagian yang dimilikinya untuk Allah. Derajat ini merupakan level paling rendah yang mau tidak mau harus bisa kita masuki. Karena jika tidak, maka tidak akan ada celah dan kesempatan bagi kita manusia biasa ini untuk bisa menjadi bagian dari orang2 yang merasakan surga Allah nanti. Dan besarnya pengorbanan yang kita berikan menjadi BESARAN IMAN yang kita miliki

Memaknai Makna Syahadatain